Senin 25 Sep 2017 16:30 WIB

Syahidnya Perempuan Melahirkan

Rep: A Syalabi Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi melahirkan tanpa sakit/hypnobirthing
Foto: pixabay
Ilustrasi melahirkan tanpa sakit/hypnobirthing

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA  -- Melahirkan merupakan anugerah terbesar bagi perempuan. Lewat peristiwa tersebut, ibu menjadi media penciptaan Allah SWT.

Lahirnya setiap jiwa yang ke dunia berarti harapan bagi adanya peradaban baru. Berbagai generasi dengan karakter berbeda hanya bisa bernapas di dunia selepas keluar dari rahim ibu.

Melahirkan pun merupakan peristiwa di ambang hidup dan mati. Setiap ibu yang melahirkan sedang bertaruh nyawa. Beruntung, lewat perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, tingkat kematian ibu melahirkan bisa ditekan.

Hanya saja, bukan berarti angka itu tidak ada. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, angka kematian ibu melahirkan mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Angka itu masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs), yakni 102 per 100 ribu kelahiran hidup. Tidak heran jika Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk menghargai jerih ibu.

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (ber buat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lelah yang bertambah- tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada Ku dan kepada ke dua orang ibu bapakmu; hanya kepada-Ku-lah kembalimu." (QS Luqman: 14).

Seorang ibu yang meninggal dunia karena melahirkan pun mendapatkan syahid. Ini dijelaskan dalam hadis ketika Rasulullah SAW menjelaskan ten tang makna kesyahidan.

"…Nabi SAW bersabda, 'kesyahidan itu ada tujuh, selain gugur dalam perang, orang yang mati karena keracunan, tenggelam da lam air, terserang virus, terkena lepra, terbakar api, tertimbun bangunan dan perempuan yang meninggal ka rena melahirkan." (HR Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Hibban).

Di dalam buku Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan, Zaitunah Subhan menjelaskan, Imam Bukhari menyepakati isi hadis tersebut, meski dengan lafaz yang berbeda. Di dalam syarah yang ditulis Ibn Hajar al-Asqalani, dijelaskan bahwa ada dua macam kesyahidan yakni syahid dunia akhirat dan syahid akhirat. Terbunuh dalam perang masuk dalam syahid pertama.

Sementara itu, perempuan yang syahid seusai me lahirkan merupakan syahid akhirat. Karena itu, jenazah sang ibu diperlakukan seperti umumnya orang me ning gal. Dia mesti dimandikan, dikafani, dan dishalati.

Zaitunah menjelaskan, dalam syahid dunia akhirat, segenap upaya dengan kekuatan dan kemampuan untuk memenangkan perjuangan fi sabilillah dengan meminimalkan yang meninggal. Sebaliknya, pada syahid karena proses reproduksi ini tidak demikian.

Seorang ibu yang syahid masih dianggap segelintir masyarakat kita telah melakukan pengorbanan. Disini, perlu ditekankan bahwa keyakinan pro ses reproduksi sebagai perjuangan syahid menuntut adanya upaya dan pengerahan kekuatan untuk dapat menyelamatkan sang ibu.

Bukankah kedudukan ibu lebih terhormat ketimbang bapak? Alquran pun, lewat ayat di atas, sudah menegaskan demikian. Karena itu, ibu melahirkan harus dihormati dan diberi perhatian. Dia pun harus diperlakukan dengan baik.

Menurut Zaitunah, pemahaman keagamaan yang keliru jikalau syahidnya perempuan usai melahirkan karena pengorbanan harus diluruskan. Peran reproduksi dianggap sebagai amanah sekaligus kewajiban yang harus diemban oleh perempuan semata harus digeser. Karena itu, kaum ibu harus men dapatkan hakhaknya untuk melakukan persa linan yang layak. Wallahu a'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement