Selasa 09 May 2017 19:40 WIB

Membedah Awal Waktu Subuh Berdasarkan Sains dan Fikih

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
Ribuan Jamaah sedang melakukan shalat subuh berjamaah di Masjid Istiqlal, Jakarta (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ribuan Jamaah sedang melakukan shalat subuh berjamaah di Masjid Istiqlal, Jakarta (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Salah satu syarat sahnya shalat adalah masuknya waktu shalat tersebut. Jika shalat dilakukan sebelum waktunya maka ibadahnya menjadi tidak sah. Karena itu, semua pihak perlu melakukan penelitian terkait waktu shalat, khususnya tentang awal waktu shalat subuh.

Terkait masalah ini, Islamic Science Reseach Network (ISRN) Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) mengadakan Seminar Nasional bertema “Evaluasi Awal Waktu Shalat Subuh Menurut Sains dan Fikih” di Gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA, Selasa (9/5).

Kepala ISRN UHAMKA, Prof Tono Saksono mengatakan, sebenarnya berdasarkan penelitian yang dilakukan secara sains, penetapan awal waktu subuh di Indonesia saat ini terlalu awal sehingga perlu dilakukan penelitian kembali. “Dari kajian scientific itu kita menemukan bahwa awal subuh kita ini terlalu awal. Jadi, kira-kira itu secara rata-ratanya antara 20-30 menit terlalu awal,” ujarnya kepada Republika.co.id usai menjadi pembicara dalam seminar tersebut.

Tono mengatakan, data keterlambatan waktu subuh tersebut sebenarnya sudah ditemukannya sejak 2015 silam dalam tesis seorang mahasiswa sarjana Astronomi. Namun, setelah pihaknya melakukan penelitian lebih dalam lagi dengan menggunakan alat pendeteksi kegelapan langit (Sky Quality Meter), hasilnya lebih tampak.

“Mulai bulan Maret itu kita lakukan penelitian, setelah 2015 pun hasilnya juga sudah begitu (terlalu awal). Kita masih akan lakukan rekaman datanya sampai Desember mendatang,” ucapnya.

Kendati demikian, menurut dia, yang menjadi persoalan saat ini adalah kurangnya komunikasi antar ormas Islam untuk membahas hal ini. Karena itu, ia masih ingin berkomunikasi lanjut dengan ormas dan para ulama terkait hal ini, termasuk dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Untuk sementara, kata dia, intinya ISRN tidak ingin gegabah untuk memberikan hasil penelitian tersebut kepada umat. Pasalnya, penelitian tersebut belum lah final dan masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

“Intinya kita tidak ingin gegabah lah memberikan ini pada umat, bahwa ini adalah hasil final. Ini adalah kajian scentifik yang kita ingin diskusikan dengan para ulama,” katanya.

Dia pun bersyukur jika seandainya banyak Ormas yang akan melakukan kajian bersama ISRN untuk menentukan awal waktu Subuh. Bahkan, pihaknya akan mendukung Ormas tersebut dengan memberikan pelatihan, sehingga bisa bersama-sama merumuskan. “Kita akan membuat jaringan untuk meneliti bersama-sama,” jelasnya.

Dalam acara yang sama, Wakil Ketua Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Sirri Wafa banyak menjelaskan dari segi unsur fikih. Namun, menurut dia, jika berangkat dari dalil-dalil yang ada selama ini senja (twilight) sebagai tanda awal masuknya shalat subuh tetap berarti fajar.

“Awal waktu subuh itu kalau berangkat dari dalil kan tetap fajar namanya. Cuma persoalannya untuk mengidentifikasi fajar itu kan menggunakan metode yang harus akurat. Dan itu yang ternyata berbeda-beda dari satu wilayah ke wilayah yang lain,” ucapnya.

Karena itu, menurut dia, untuk menentukan waktu awal shalat subuh tersebut sifatnya mengikuti perkembangan. Dalam hal ini, kata dia, PBNU juga mempunyai kepentingan untuk melakukan penelitian kembali. “Jadi yang jelas penelitian masih terbuka untuk NU,” ujarnya.

Dia menjelaskan, bahwa penentuan awal waktu shalat Subuh memang merupakan yang tersulit dibandingkan waktu-waktu shalat lainnya, seperti Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Pasalnya, untuk menentukan waktu shalat Subuh harus berdasarkan matahari. Sedangkan, matahari sendiri pada saat malam hari berada di bawah bumi.

“Nah itu kesulitannya antara shalat di malam hari dan shalat di  siang hari yang sama-sama menggunakan matahari sebagai acuannya itu berbeda kesulitannya. Nah, subuh ini memang agak-agak sulit,” ujarnya.

Dia juga berharap, ke depannya bisa melakukan penelitian bersama terkait hal ini, sehingga dapat menjadi hasil keputusan bersama dengan ormas-ormas Islam di Indonesia. “Artinya NU no problem untuk melakukan evaluasi, kita bicarakan bersama untuk melakukan evaluasi bersama,” katanya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Profesor Reseach Astronomi Astrofisika LAPAN, Thomas Djamaludin. Menurut dia, masih perlu dilakukan penelitian yang lebih cermat lagi untuk menentukan awal waktu subuh.

Menurut dia, antara sains dan agama harus terintegrasi dan saling mendukung, sehingga bisa mendapat hasil yang akurat untuk menentukan masuknya awal waktu shalat Subuh. Sama halnya saat sains dan agama juga bisa digunakan untuk menentukan waktu Hari Raya Idul Fitri.

“Sekarang harus dikaji secara bersama, sains dan agama dalam hal ini pelaksanaan agama. Itu sesuatu yang mestinya saling mendukung termasuk untuk menentukan shalat,” ujarnya.

Namun, yang menjadi kendala saat ini adalah saat melakukan peninjauan ulang terkait waktu Subuh tersebut kondisi cuaca di Indonesia berbeda-beda untuk setiap wilayah. Karena itu, menurut dia, yang perlu dilakukan selanjutnya adalah perlu mencari daerah yang kering untuk melakukan penelitian tersebut, seperti halnya di Kupang NTT, dan sebagainya.

Dengan demikian, para peneliti nantinya dapat melakukan pengukuran secara lebih cermat lagi. “Jadi kesulitan kita, ketika kita mengukur cahaya, itu kemungkinan gangguan ada awan tipis, itu yang sulit dipantau. Setidaknya untuk terkait dnegan wacana ilmiahnya, penelitian terus dilakukan, dan seperti yang saya sebutkan tadi, perlu dilakukan di daerah yang kering,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement