Rabu 01 Feb 2017 23:35 WIB

Nabi dan Rasul Berjuang dan Bekerja

Muslimah bekerja (ilustrasi).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Muslimah bekerja (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para nabi dan rasul, selain berjuang menyebarkan risalah Ilahi juga bekerja. Nabi Nuh, misalnya, dikenal sebagai perintis bidang industri kayu. Nabi Ibrahim adalah ahli dalam pembangunan gedung. Keahlian bekerja dimiliki pula oleh Nabi Yusuf. Ia  menguasai ilmu ekonomi dan mengabdi di istana kerajaan.

Rasulullah sendiri, sarat keahlian yang tak perlu diragukan lagi, yaitu dalam bidang perniagaan. Sebab,  ia menegaskan bahwa bekerja merupakan kewajiban. Mencari rezeki yang halal adalah kewajiban setelah kewajiban yang lain, demikian hadis riwayat Thabrani.

Allah SWT telah membuka peluang seluas-luasnya bagi umat untuk memanfaatkan karunia di bumi. Dengan itu, sambung Abdul Hamid, diharapkan umat bisa mengangkat derajat hidupnya, tapi dengan syarat mutlak, harus dicapai melalui kerja keras. Hal ini terungkap dalam Surat Al-Mulk ayat 15.

Menurut ayat tersebut, Allah menjadikan bumi itu mudah bagi manusia. Maka itu, manusia mestinya berjalan di segala penjuru bumi dan memakan sebagian rezeki yang dianugerahkan oleh Allah. Hanya kepada Allah manusia kembali setelah mereka semua dibangkitkan.

Cendekiawan Muslim, Yusuf Al-Qaradhawi, merespons ayat tersebut dan melontarkan penjelasannya. Menurut dia, hendaknya umat Islam menjadikan hal itu sebagai prinsip utama. Maknanya, umat tidak boleh malas apalagi tidak bekerja. Tak bekerja atau malas untuk bekerja tak dibenarkan dengan dalih apa pun.

Juga dengan alasan karena seorang Muslim sibuk ibadah dan bertawakal, tegas ulama besar ini. Di antara yang dikecam dalam Islam, sambung Al-Qaradhawi, yakni seorang yang terus-menerus mengandalkan uluran tangan dari orang lain, padahal dirinya masih kuat dan bisa bekerja.

Mengutip hadis yang diriwayatkan Turmudzi, Al-Qaradhawi menegaskan, sedekah tak halal untuk orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan sempurna. Meminta-minta, termasuk dalam kategori tersebut. Nabi Muhammad sangat mengharamkan seorang Muslim untuk meminta-minta.

Sebab, langkah seperti itu bisa menurunkan harga diri dan kehormatan seorang Muslim. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip Islam yang mengedepankan karya dan kerja. Umat hendaknya membiasakan diri hidup penuh percaya diri tanpa bergantung pada orang lain, kata Al-Qaradhawi menegaskan.

Meski demikian, meminta-minta masih ditoleransi dalam batas tertentu. Ada syarat yang mengiringinya, seperti ditetapkan oleh Rasulullah. Pertama, dilakukan seorang yang menanggung beban berat maka boleh baginya meminta-minta hingga ia dapat mengatasinya, tapi sesudah itu berhenti.

Kedua, seseorang  tertimpa bahaya yang membinasakan hartanya. Meminta-minta boleh dia lakukan hingga mendapatkan suatu standar untuk hidup. Dan ketiga, seseorang yang dirundung kemiskinan sehingga ada tiga orang pandai dari kaumnya mengatakan, Si fulan ditimpa kemiskinan maka halal baginya meminta-minta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement