Sabtu 14 Jan 2017 07:52 WIB

Kisah Partai Kristen dan Masyumi: Persaudaraan Sejati Natsir-Leimena

Mohammad Natsir, setelah Masyumi dibubarkan, mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Foto:
Pahlawan Nasional Johanes Leimena

Ada juga satu peristiwa yang agak lucu di waktu itu.

Sebagai salah satu konsekwensi dari gagalnya perundingan mengenai soal Irian (Papua,red) itu, Pemerintah dan DPR mempersiapkan undang-undang Pembatalan Unie Indonesia-Belanda, sesuai dengan idam-idaman Bung Karno semenjak zaman Kabinet Natsir di tahun 1950, waktu perundingan mengenai soal Irian itu gagal untuk pertama kalinya. Malah waktu itu beliau ingin membatalkannya melalui pidato beliau sendiri dari Istana Merdeka. Ini tidak pernah terjadi.

Tapi di waktu Kabinet Burhanuddin Harahap mempersiapkan undang-undang pembatalan Unie itu, Presiden Sukarno tidak bersedia menandatanganinya. Kemudian sesudah pemilihan umum pertama, Kabinet Ali Sastroamidjojo mempersiapkan lagi undang-undang Pembatalan Unie Indonesia-Belanda yang baru, dengan teks yang serupa, barulah Presiden bersedia menandatanganinya.

Umum menafsirkan bahwa beliau tidak ingin memberi “Kehormatan” pembatalan Unie itu kepada kabinet yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap, yang biasa dinamakan Kabinet Masyumi itu, sesuai dengan nama partai Perdana Menterinya.

Sementara itu krisis antara Indonesia dengan Belanda meningkat dari bulan ke bulan. Semua kekayaan Belanda disita.

Rusia membantu Indonesia dengan kapal-kapal perangnya yang sudah tua. Terjadilah konfrontasi fisik (kalau belum dinamakan perang total), di daerah Irian dan sekitarnya di mana Yos Sudarso gugur.

Krisis ini telah dapat diakhiri dengan jalan diplomasi, setelahnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) campur tangan. Duta Besar Indonesia di Rusia, Adam Malik, dan Wakil Tetap Indonesia di PBB, Sudjarwo,S.H., banyak berjasa dalam usaha penyelesaian soal Irian ini.

Semasa Kabinet Hatta (Kabinet Negara Republik Indonesia Serikat), terjadi pemberontakan di Ambon dengan diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Soumukil cs. Untuk mencari penyelesaian secara damai, Pemerintah Hatta membentuk satu missi di bawah pimpinan Dr Leimena, dan terkenal dengan nama Missi Leimena. Namun, Soumokil cs tidak bersedia menerima Missi Leimena.

Setelah segala usaha untuk mencari penyelesaian secara damai, gagal, sedangkan laporan-laporan yang sampai ke Pemerintah Pusat menyakinkan bahwa gerakan RMS itu sama sekali tidak mendapat sambutan dari penduduk Ambon, malah rakyat Ambon menderita penteroran dari serdadu-serdadu RMS, maka Kabinet Negara Kesatuan yang baru saja dibentuk terpaksa mengambil tindakan militer berupa pengiriman pasukan TNI ke pulau Ambon untuk memulihkan keamanan dan kesatuan negara, pada tanggal 28 September 1950.

Beberapa hari sesudah operasi militer yang cukup singkat itu berhasil, maka pergilah kami berdua ke Ambon dengan kapal terbang tua merk Douglas yang berbangku panjang itu melalui Makassar dan Namlea di pulau Buru.

Sekalipun kehidupan sehari-hari belum dapat dikatakan normal, tapi seluruh pulau Ambon sudah dapat dikuasai. Kami ucapkan selamat kepada komandan-komandan pertempuran dan prajurit-prajurit atas berhasilnya operasi. Kami berziarah ke kuburan Kolonel Slamet Riyadi yang gugur dalam pertempuran di Tahitu, dan adakan pertemuan dengan pemuka-pemuka rakyat Ambon.

Dr Leimena adalah pemimpin yang tumbuh dari masyarakat dan berurat di dalamnya. Dia juga seorang dokter yang tahu apa artinya diagnose dan apa therapie. Ia dapat cepat merasakan dengan peka, bahwa sesuatu peristiwa berupa tantangan kepada orde yang sedang berlaku, baik yang sudah berupa tantangan fisik seperti yang terjadi di Ambon itu, ataupun yang masih merupakan protes-protes, dan pernyataan yang seringkali menjengkelkan fihak yang sedang berkuasa, semua itu bersumber dari suatu proses psychologis yang sekarang ini –dengan bahasa lunak—sering dinamakan “keresahan” batin, apapun yang menyebabkan keresahan itu.

Jadi, tidak selesai dengan menindak mereka yang “menyeleweng” atau yang resah itu secara fisik dan juridis semata-mata. Kita tidak boleh semata-mata melayani gejala-gejala, dengan symptomatic approach, kata orang sekarang. Tapi kita harus langsung melayani apa-apa yang menjadi sebab –dengan causal approach.

Oleh karena itu, Dr. Leimena setelah ia mengkaji persoalannya, memerlukan membuat suatu analisa dari peristiwa RMS itu disertai dengan 'Satu Seruan dari Hati ke Hati', diterbitkan berbentuk brosur berjudul: Soal Ambon – Satu Seruan. Brosur tersebut ditulisnya sebagai jawaban atas suatu pertanyaan dari Dewan Gereja Sedunia kepadanya pribadi yang tadinya kuatir, bahwa tindakan militer terhadap RMS di pulau Ambon menyebabkan antara lain gereja Kristen tidak dapat menjalankan pekerjaannya.

Ia berbicara sebagai patriot dan pemimpin umat Kristen.

Dalam kata-kata pengantarnya diterangkan antara lain:

“.... Oleh karena,  menurut hemat saya, Maluku dan kaum Kristen Maluku pada waktu sekarang ini ada dalam ‘krisis rohani’ (geestelijke crisis) saya merasa wajib sebagai seorang Indonesia yang berasal dari Maluku dan sebagai anggota Gereja Kristen Indonesia, menunjukkan jalan yang kiranya harus ditempuh oleh kaum Kristen maluku, dan di kemudian hari.”

Dengan nada khas Leimene de Dominee, ia katakan: “Mudah-mudahan suara ini tidaklah laksana suara seorang penyeru di padang pasir. Barangsiapa yang mempunya mata, hendaklah ia melihat. Barangsiapa yang mempunyai telinga, hendaklah ia mendengar. Supaya ia mengerti akan tanda-tanda sejarah yang baru di Indonesia ini....”

Disampaikannya seruannya dengan kata-kata yang terang dan clear cut: “Soal yang terpenting bagi orang Kristen yang berasal dari Maluku (Ambon) ialah memeluk agama Kristen dan juga menjadi seorang warga negara Indonesia. Soal ini harus dipecahkan juga oleh Gereja di Maluku. Sampai pada waktu sekarang Gereja ini bersikap agak ragu-ragu. Sebagian dari kaum Kristen Ambon di Maluku dan di luar Maluku paham dan sadar akan jalannya sejarah Indonesia. Mereka sebenarnya belum dapat melihat ke muka, tapi masih menengok kepada masa yang lampau, seakan-akan mereka masih hankerring after the fleshpots of Egypt.

“Pada hemat saya adalah satu kesalahan besar jika kaum Kristen di Indonesia memisahkan dirinya daripada masyarakat Indonesia, seperti sekarang terjadi di Ambon. Menurut paham saya, justru oleh karena orang Krsiten Maluku harus hidup dan bekerja sebagai orang Kristen, haruslah ia juga seorang warga negara Indonesia sejati. Pada saat ini, ketika sejarah memberikan kesempatan kepada kaum Kristen turut serta menyempurnakan penyelenggaraan ‘one nation building’ dan ‘one state building’, kaum Kristen tidak boleh mungkir dalam pekerjaan yang penting ini. Hal ini penting juga bagi kehidupan Gereja pada waktu sekarang dan di hari kemudian.”

Cukup tajam kalimat-kalimat itu. Tapi bila keluar dari mulut Leimena, orang bisa menerimanya dan merenungkannya.

Demikian sekadar kutipan dari therapie yang diberikan Dokter Leimena untuk menyembuhkan apa yang dinamakan “krisis rohani” segera sesudah pulihnya keterlibatan fisik di Ambon bulan Oktober 1950, yang besar sekali manfaatnya dalam pemulihan ketertiban lahir dan batin di daerah yang baru kena bencana itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement