Kamis 17 Nov 2016 10:37 WIB

Pemilu Amerika, Komunitas Muslim, dan Dunia Islam

Imam Shamsi Ali yang bermukim di New York.
Foto: Facebook
Imam Shamsi Ali yang bermukim di New York.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)

Pemilu baru saja berlangsung di Amerika. Setelah melalui kampanye yang sengit, kasar bahkan jahat, akhirnya Amerika akan mempunyai presiden baru yang sangat kontroversial. Tidak saja kontroversial pada sisi kepribadiannya. Tapi, sekaligus pada pemikiran dan visi kebijakan yang dikampanyekan.

Pada sisi pribadinya, Donald Trump penuh dengan kontroversi, mulai dari karakter dan kepribadiannya, hubungan dengan wanita, hingga kepada bisnisnya. Kita kenal bahwa Donald Trump itu beberapa kali mengalami kebangkrutan bisnis hotelnya, seperti Taj Mahal di Atlantic City.

Bahkan, saat ini, Donald Trump masih menghadapi kasus litigasi penipuan Universitas Trump (Trump University). Jika tidak keliru, minggu-minggu ini akan digelar pengadilan kasus penipuan itu.

Membingungkan

Terpilihnya Donald Trump mengalahkan Hillary Clinton dalam pertarungan Pemilihan Presiden Amerika menjadi salah satu peristiwa dunia yang paling heboh, tapi sekaligus paling membingungkan. Hampir semua perkiraan yang ada selama ini meleset atau salah.

Saya sendiri dalam berbagai kesempatan selalu menyampaikan ini: "Secara kalkulasi manusia DT tidak akan memenangkan pertarungan pencalonan Republikan. Apalagi, memenangkan pemilihan kepresidenan". Tapi seringkali saya tambahkan: "Namun demikian, kita tidak punya hak mendahuli takdir Allah".

Dengan demikian, di satu sisi saya salah. Tapi, di sisi lain saya benar. Semua peristiwa yang terjadi dalam alam jagad berada dalam 'keputusan' pemiik langit dan bumi. Sehingga, jawaban paling benar kenapa Donald Trump terpilih adalah karena "Allah akan melakukan sesuatu yang lebih besar di balik itu.

Apa pun yang Allah akan lakukan tentu hingga saat ini belum diketahui. Sebab sekali lagi: "Boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal itu tidak baik bagi kamu. Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu tapi itu baik bagi kamu". (Qs. Al-Baqarah : 216).

Oleh karenanya, sikap kami hingga saat ini menyikapi keterpilihan Donald Trump adalah optimistis dengan keputusan Allah. Pada akhirnya, ketika sesuatu sudah terjadi di depan mata, maka senang atau benci itu adalah ketentuan yang harus diterima. Dan menerima takdir adalah bagian dari sikap dasar iman.

Pertanyaannya kemudian adalah apa saja yang menjadi alasan kenapa Trump bisa terpilih? Atau minimal masih dipilih oleh banyak masyarakat Amerika?

Pertanyaan itu tentu tidak mudah untuk kita jawab. Pertama, karena harusnya bangsa Amerika itu adalah bangsa yang rasional. Jadi harusnya dalam menentukan pilihan tidak semata berdasar emosi. Tapi berdasarkan pertimbangan rasional yang matang. Dan secara rasional, siapa pun akan menilai jika DT tidak pantas (unfit dalam bahasa Obama) untuk menjadi presiden Amerika.

Kedua, karena DT tersangkut dengan berbagai kasus, termasuk kasus litigasi Universitas Trump, perpajakan, wanita, dan lain-lain.

Ketiga, poling-poling yang ada selama ini selalu mengunggulkan Hillary sebagai calon yang terpilih.

Keempat dan terpenting, mayoritas pemimpin partai yang mengusungnya tidak mendukungnya untuk menjadi presiden. Bahkan dua mantan presiden Republikan, Bush Senior dan Junior, juga tidak mendukungnya.

Tapi kenapa masih memenangkan pertarungan ini? Berikut beberapa analisis sederhana saya:

Satu, dunia sedang dilanda demam perubahan sebagai bagian dari hukum alam. Dan Amerika tidak terbebas dari itu. Masyarakat Amerika telah lama merindukan perubahan institusional itu. Barack Obama menjadi harapan saat itu. Sayang, secara institusi Barack masih harus bermain mengikut arus 'tradisi lama'. Kongres dan Senat keduanya dikuasai oleh partai oposisi. Sehingga berbagai kebijakan yang menjanjikan itu ditentang, atau minimal kembali diobok-obok oleh lawan politiknya.

Sayang, keinginan besar untuk sebuah perubahan itu tertangkap oleh seorang calon, bahkan dua calon, yang tidak relevan dengan semangat perubahan itu sendiri. Yang satu jelas tidak kapabel menurut pengamatan mayoritas. Tapi, yang satu lagi dianggap masih mewakili sistem konvensional.

Keterpilihan DT dalam hal ini hanya karena dilihat sebagai wajah baru, yang sedikit banyaknya, mewakili perubahan itu. Minimal pada tataran kasat mata, tanpa substansi.

Dua, Amerika memang mengalami perubahan demografi yang besar. Kaum putih yang kerap kali merasa penduduk asli Amerika secara keliru, semakin tergeserkan. Penduduk Amerika lainnya, yang kerap kali dilabelkan sebagai imigran, semakin bertambah. Imigran dengan persentase terbesar adalah etnik hispanic.

Di satu sisi Amerika masih saja membuka diri untuk hadirnya imigran-imigran baru, termasuk mengakomodir para pengungsi dari negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim, khususnya Irak dan Suriah. Sehingga imigran dari masa ke masa semakin merubah Amerika secara demografi, yang tentunya berimplikasi kepada sisi kehidupan lainnya. Termasuk ekonomi, politik, tatanan sosial, dan bahkan agama dan budaya.

Kenyataan di atas menjadikan mereka yang merasa 'native American' alias orang asli Amerika (baca: orang putih) menjadi semakin gelisah dan khawatir (phobia). Dan phobia non-white ini pula yang dimainkan oleh tim kampanye DT.

Tiga, di antara ketakutan (fear atau phobia) yang dipergunakan oleh tim kampanye DT adalah kenyataan bahwa upaya mengekang perkembangam Islam pasca 9/11 gagal total. Ratusan juta dolar Amerika dihabiskan untuk menjegal laju perkembangan Islam, dengan membiayai kampanye Islamofobia dan sentimen anti-Islam tidak berhasil memperlambat perkembangan agama ini.

Saya pribadi termasuk saksi terdepan akan realita ini. Ratusan orang-orang Amerika telah menerima Islam melalui usaha-usaha sederhana yang kita lakukan. Sekali lagi, bukan mengislamkan. Tapi menyampaikan Islam apa adanya dan dengan wajahnya yang rahmatan lil-alamin itu.

Perkembangan Islam tidak saja pertumbuhannya secara kuwantitas. Tapi saya kira lebih penting dari itu, adalah perkembangan masyarakat Muslim secara kwantitas, dengan merambah seluruh komponen kehidupan bangsa Amerika. Dari politisi, pendidik, pekerja profesional, hingga pebisnis dan pekerja biasa. Muslim berani mendobrak dinding pembatas dan menjadi bagian integral yang dahsyat dalam masyarakat Amerika.

Kenyataan itulah yang menjadikan sebagian masyarakat Amerik semakin resah dan "ketakutan" (phobia). Sehingga memang nampak paradoks besar di Amerika. Di satu sisi Islam berkembang cepat. Namun di sisi lain, ketakutan dan kemarahan itu juga semakin meninggi.

Ketakutan dan kemarahan ini pulalah yang dimaikankan oleh tim kampanye DT. Saya kira ini kelihaian dan kecepatan menangkap realita di masyarakat. Sehingga mereka berhasil "menjual" islamophobia sebagai alat kampanye dan berhasil.

Empat,  kemenangan Barack Obama di tahun 2008 lalu menjadi luka tersendiri bagi segmen tertentu masyarakat. Kendati ibunya kerketurunan warna kulit putih, keturunan Irlandia, dengan ayah berkulit hitam, non American dan berbangsa Kenya, menjadikannya terpandang non mainstream, minority yang harusnya tidak memenangkan pertarungan itu.

Kenyataannya Barack Obama memenangkan pemilihan itu secara mayoritas. Bahkan pada pada babak penyisihan untuk tiket partai Demokrat, politisi junior yang belum berpengalaman itu mengalahkan politisi ulung dengan dukungan pembesar partainya, Hillary. Kesimpulan sebagian ketika itu adalah karena Amerika merindukan perubahan.

Ternyata kemenangan Barack Obama itu menjadi beban tersendiri bagi sebagian masyarakat Amerika. "Sakitnya itu di sini", sambil menunjuk dada. Bagaimana mungkin seorang warna kulit hitam sekarang memimpin Amerika? Amerika yang selama ini masih di dominasi oleh warga kulit putih?

Maka walaupun di satu sisi Amerika bangga dengan pencapaian sejarah baru itu, di sisi lain terpilihnya Barack Obama menumbuhkan "dendam politik" di kalangan masyarakat yang mempersepsikan diri sebagai mayoritas. Donald Trump sendiri masuk dalam golongan ini. Sehingga sejak lama mencari cara menjegal Barack Obama untuk maju pada term kedua pemilihan Amerika. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan mempertanyakan keabsahan akte lahirnya.

Dendam politik inilah yang diusung oleh tim kampanye DT. Mereka menampilkan "seolah kaum putih" tergeser dari kekuasaan politik Amerika dengan kemenangan orang yang berkulit hitam pertama kalinya dalam sejarah negara ini. Maka masanya masyarakat putih kembali merebut negara ini. Dan ini pula yang melandasi tema kampanye Trump: Make Amerika Great Again". Artinya dengan kembalinya kulit putih di pucuk kekuasaan Amerika kembali jaya sebagaimana masa lalunya.

Pertanyaan sepanjutnya adalah bagaimana dampak keterpilihan Donald Trump ke depan? Baik secara domestik maupun dari sudut pandang global? Secara khusus bagaiamana dengan komunitas Muslim di Amerika? Bagaimana pula dampak keterpilihan Donald Trump kepada dunia Islam? Tentu akan kita lihat pula bagaimana dampak keterpilihan Donald Trump kepada negara Indonesia?

Bersambung!

*)  Presiden Nusantara Foundation, Inc.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement