Jumat 06 May 2016 19:40 WIB

Fatwa MUI tentang Jaminan Sosial Kesehatan Syariah Disosialisasikan

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Achmad Syalaby
Deputi Komisioner OJK Mulya Siregar, Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Ma'ruf Amin serta Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) sekaligus Direktur Utama ank Syariah Mandiri Agus Sudiarto berbincang saat sosialisai fatwa keuangan syaria
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Deputi Komisioner OJK Mulya Siregar, Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Ma'ruf Amin serta Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) sekaligus Direktur Utama ank Syariah Mandiri Agus Sudiarto berbincang saat sosialisai fatwa keuangan syaria

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) mulai mensosialisasikan fatwa jaminan sosial kesehatan syariah. Fatwa ini merupakan tindak lanjut rekomendasi keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia ke-5 Tahun 2015 di Tegal, Jawa Tengah pada Juni 2015 lalu.

Fatwa DSN MUI Nomor 98/DSN-MUI/XII/2015 tentang pedoman penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan syariah memuat 10 ketentuan. Dalam ketentuan ke empat, selain mewajibkan BPJS Kesehatan memberi kemudahan dan informasi yang jelas kepada peserta, fatwa mewajibkan fasilitas kesehatan menolong dan dilarang menolak atau mengabaikan pasien.

Di ketentuan tujuh terkait penempatan dan pengembangan dana jaminan sosial, BPJS Kesehatan diwajibkan memiliki rekening bank syariah, pengelolaan portofolio dana jaminan sosial sesuai prinsip syariah, tidak boleh mengembangkan dana jaminan sosial pada usaha atau transaksi keuangan yang bertentangan dengan prinsip syariah, serta menggunakan akad-akad sesuai prinsip syariah.

Dalam ketentuan delapan terkait sanksi (ta'zir), dana yang terkumpul dari pemberi kerja dan peserta individu sanksi wajib diakumulasikan ke dalam dana jaminan sosial. Jika pemberi kerja atau individu terlambat membayar iuran karena sebab yang benar menurut syariah dan hukum, maka BPJS Kesehatan tidak boleh mengenakan sanksi.

Sementara itu, MUI berpendapat bahwa BPJS Kesehatan boleh dikenakan sanksi karena terlambat membayarkan imbalan kepada fasilitas kesehatan. Dana dari saksi atas BPJS Kesehatan wajib digunakan untuk dana sosial.

Wakil Ketua Badan Pelaksana Harian DSN MUI Jaih Mubarok menyampaikan, DSN MUI sudah mulai mensosialisasikan Fatwa 98 ini di BPJS Kesehatan pada Rabu (4/5) lalu dan dihadiri perwakilan Kementerian Kesehatan, BPJS, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Pasca sosialisasi ini segera dibentuk tim untuk menyiapkan segala hal dalam rangka pembentukan unit atau layanan syariah. Setelah siap //legal standing//-nya, barulah fatwa diimpelementasikan. 

''Konsep fatwa ini mencakup pembayaran, pengelolaan, pengembangan, layanan, dan manfaat yang diharapkan peserta. Insyaa Allah komprehensif,'' ungkap Jaih melalui pesan aplikasi daring baru-baru ini.

Dalam hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Indonesia ke lima awal Juni 2015 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendorong adanya layanan syariah dari BPJS Kesehatan. Salah satu hasil ijtima memuat bahwa penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan selama ini tidak sesuai syariah karena mengandung unsur riba dan gharar.

Namun, pertimbangan darurat dan kebutuhan membuat BPJS konvensional yang ada saat ini digunakan dulu sambil mengupayakan adanya layanan syariah BPJS Kesehatan. MUI menilai layanan syariah BPJS Kesehatan perlu direalisasikan agar umat Islam dapat memperoleh manfaat dari penyelenggaraan BPJS yang sesuai syariah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement