Jumat 01 Apr 2016 11:34 WIB

Pilih Pemimpin, Ini 4 Syaratnya Menurut Alquran

Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS  (kiri) saat mengisi salah satu pengajian guru dan karyawan Sekolah Bosowa Bina Insani (SBBI) Bogor, Jawa Barat.
Foto: Irwan Kelana/Republika
Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS (kiri) saat mengisi salah satu pengajian guru dan karyawan Sekolah Bosowa Bina Insani (SBBI) Bogor, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Ada sementara orang yang mengatakan bahwa memilih pemimpin, misalnya bupati, gubernur atau presiden, hanya merupakan urusan dunia, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan agama. Hal itu dibantah keras oleh Guru Besar Agama Islam IPB Bogor Prof Dr KH Didin Hafihuddin MS.

“Memilih seorang pemimpin adalah bagian dari urusan dunia sekaligus akhirat. Memilih pemimpin bagian dari urusan agama yang sangat penting. Islam tidak mengenal dikotomi atau sekulerisasi yang memisahkan antara  dunia dan akhirat, termasuk dalam memilih pemimpin,” ujar Prof Didin Hafidhuddin saat mengisi pengajian guru dan karyawan Sekolah Bosowa Bina Insani di Masjid Al Ikhlas Bosowa Bina Insani Bogor, Jawa Barat, Jumat (1/4) pagi.

Kiai Didin yang juga Direktur Pasca Sarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Jawa Barat, lalu membahas Alquran Surah Al Maidah ayat 55. “Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan ada empat syarat seseorang layak dipilih sebagai pemimpin. Persyaratan ini berlaku dalam memilih seorang pemimpin di level apa pun,” tutur Kiai Didin.

Pertama, kata Didin, beriman kepada Allah (Mukmin) dan beragama Islam (Muslim) yang baik. “Yakni seorang Muslim yang memiliki dua sifat, seperti disebutkan dalam Alquran Surah Yusuf ayat 55, “hafizhun ‘alim”,” papar Didin yang juga seorang pakar ekonomi syariah.

“Hafizhun”, kata mantan Ketua Umum Baznas tersebut, artinya adalah seorang yang pandai menjaga. Yakni, seorang  yang punya integritas, kepribadian yang kuat, amanah, jujur dan akhlaknya mulia, sehingga patut menjadi teladan bagi orang lain atau rakyat yang dipimpinnya.

 Seorang pemimpin yang amanah, kata Didin, akan berusaha sekuat tenaga untuk menyejahterakan rakyatnya, walaupun sumber daya alamnya terbatas. Sebaliknya pemimpin yang khianat sibuk memperkaya diri sendiri dan keluarga serta kolega-koleganya, dan membiarkan rakyatnya tak berdaya.

“Rasulullah SAW mengingatkan, sifat amanah akan menarik keberkahan, sedangkan sifat khianat akan mendorong kefakiran,” papar Didin yang juga pimpinan Pesantren Mahasiswa dan Sarjana Ulil Albab, Bogor.

Adapun “’Alim”, kata Didin, artinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang memadai untuk memimpin rakyatnya dan membawa mereka hidup lebih sejahtera.

 

Menurut Didin, fakta menunjukkan Indonesia pernah mempunyai seorang pemimpin Muslim yang amanah dan berpengetahuan tinggi (hafizhun ‘alim), yakni Prof Dr BJ Habibie. “Beliau ahli tahajud, ahli puasa Senin Kamis, gemar membaca Alquran, dan seorang ahli pesawat yang keilmuannya diakui oleh dunia internasional. Selama menjadi presiden RI, beliau terbukti sukses melaksanakan tugasnya,” ujar  Didin.

Syarat kedua untuk menjadi seorang pemimpin menurut Alquran, kata Didin, rajin menegakkan shalat. Sebab, shalat adalah barometer akhlak manusia. “Pemimpin yang baik dan layak dipilih adalah pemimpin yang menegakkan shalat. Shalat melahirkan tanggung jawab. Kesadaran keimanan/tauhid/transendental dibangun melalui shalat,” tutur Didin.

Syarat ketiga untuk menjadi seorang pemimpin menurut Alquran, ujar Didin, gemar menunaikan zakat dan sedekah. “Zakat itu bukan membersihkan harta yang  kotor, melainkan membersihkan harta kita (harta yang bersih) dari hak orang lain,” kata Didin.

Didin mengemukakan, seorang pemimpin yang rajin berzakat dan berinfak, tidak akan korupsi.”Sebab  dia yakin Allah sudah menjamin rezekinya, dan sesungguhnya rezeki yang halal lebih banyak daripada rezeki yang haram. Kalau sudah yakin seperti itu, untuk apa melakukan korupsi yang sangat dibenci Allah?”  tegas Didin.

Adapun syarat pemimpin yang keempat menurut Alquran, kata Didin, adalah suka berjamaah. “Artinya suka bergaul dengan masyarakat, berusaha mengetahui keadaan rakyatnya dengan sebaik-baiknya, dan mencarikan jalan keluar atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakatnya,” ujarnya.

Sifat suka berjamaah atau memperhatikan masyarakat ini, Didin menambahkan, ditunjukkan dalam shalat fardhu berjamaah. Rasulullah setiap selesai shalat fardhu berjamaah lalu duduk menghadap kepada jamaah.

Hal itu, kata Didin,  bertujuan untuk mengetahui kondisi jamaah, termasuk memperhatikan apakah jumlah jamaah tersebut lengkap atau tidak. Kalau ada yang tidak hadir shalat berjamaah, ditanya apa penyebabnya. Kalau ternyata orang tersebut sakit, Rasulullah bersama para sahabatnya lalu menjenguk orang yang sakit tersebut.

“Semangat berjamaah atau memperhatikan masyarakatnya inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Semangat berjamaah  inilah dan tiga syarat lainnya yang diuraikan di atas, yang harus dijadikan kriteria bagi masyarakat dalam memilih seorang pemimpin,” tutur Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement