Senin 21 Dec 2015 10:58 WIB
Catatan Akhir Tahun 2015

Intoleransi Agama Berbalut Anarkisme

Rep: andi nur aminah/ Red: Muhammad Subarkah
Pembangunan masjid di Manokwari.
Foto:
Papan nama Masjid Baitul Mutaqqin, Karubaga, Tolikara.

Sebuah surat pelarangan perayaan Idul Fitri di Tolikara muncul sebelum kasus pembakaran masjid terjadi, Jumat (17/7). Surat itu beredar dari Gereja Injil di Indonesia (GIDI) pada 11 Juli 2015 yang ditandatangani Ketua GIDI Wilayah Toli, Pendeta Nayus Wenda.

Dalam surat itu, GIDI melarang tiga hal dilakukan di Tolikara, Wamena, Papua. Tiga hal tersebut adalah melarang pembukaan Lebaran (Idul Fitri) yang jatuh pada Jumat (17/7) di wilayah Kabupaten Tolikara (Karubaga), Wamena Papua. Kedua, GIDI hanya mengijinkan perayaan dilakukan di luar kabupaten Tolikara dan Jayapura.  Ketiga, umat Muslim perempuan dilarang mengenakan jilbab di wilayah tersebut.

GIDI menyebutkan, tiga larangan itu didasarkan hasil seminar dan KKR pemuda GIDI tingkat internasional. Sehingga GIDI wilayah Toli membatalkan semua kegiatan yang bersifat mengundang umat besar. Mulai dari tingkat jemaat lokal, klasis atau pun dari yayasan dan lembaga-lembaga lainnya.

Selain itu, GIDI wilayah Toli juga melarang agama lain dan gereja denominasi lain untuk mendirikan tempat-tempat ibadah di kabupaten Tolikara. Selain pembakaran masjid, GIDI juga sudah menutup gereja Adven di Paido. Sehingga umat gereja Adven bergabung dengan GIDI.

Larangan tersebut akhirnya berbuntut panjang. Sekitar pukul 07.00 WIT, sekelompok oknum merasa hari Jumat merupakan 'hari Yesus'. Mereka juga diduga mereka merasa terganggu dengan suara speaker yang berbunyi saat perayaan Idul Fitri.

Maka di saat warga Muslim akan melaksanakan Shalat Idul Fitri, kerusuhan pun pecah. Shalat Id di Masjid Baitul Mutaqqin di Karubaga, Kabupaten Tolikara, pun tak sempat dituntaskan lantaran lemparan baru melayang dari berbagai penjuru.

Masjid itu bersebelahan dengan kantor Koramil Karubaga. Bahkan sebagian jamaah memanfaatkan halaman Koramil untuk shalat. Namun pelaku pelemparan abai dengan semua itu. Simbol aparat keamanan tak digubris sedikitpun.

Saat insiden itu terjadi aparat keamanan sempat mengeluarkan tembakan peringatan dan melukai 11 orang. Satu di antaranya meninggal setelah sempat dirawat di RSUD Dok 2 Jayapura.

Selang beberapa menit, warga dari kelompok penyerang melakukan pembakaran kios. Api dengan cepat merembet hinggg ke masjid yang lokasinya berdampingingan dengan kios.

Sepekan pascakejadian, dua tersangka AK dan JW ditahan. Kabid Humas Polda Papua Kombes Patrige, mengatakan, dua tersangka AK dan JW mengaku kepada penyidik ikut menyerang dengan melempari jamaah yang sedang melaksanakan Shalat Id.

"Kedua tersangka masih terus diperiksa penyidik, karena dari hasil keterangan saksi dan hasil rekaman video terungkap keduanya juga sebagai provokator," kata Kabid Humas Polda Papua, Senin (27/7).

Ia mengatakan, satu dari kedua tersangka membawa toa atau penggeras suara. Tersangka JW (36) berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemda Tolikara. Sedangkan AK adalah pegawai salah satu bank yang beroperasi di Karubaga. "Para tersangka yang akan dijerat pasal pasal 160 dan 170 KUHP itu ditahan di Polda Papua sejak Jumat ( 24/7)," ujar  Kombes Patrige.

Meledaknya amarah di hari yang fitri bagi umat Islam itu mengundang reaksi keras dari berbagai pihak. Majelis Ulama Indonesia (MUI), ormas Islam, politisi, akademisi bersuara nyaring menyikapi insiden ini. Ketua MUI Bidang Pemberdayaan Ekonomi Umat, Anwar Abbas meminta pemerintah segera turun tangan. Menurutnya, pemerintah tidak boleh mengabaikan kasus pembakaran itu. Sembari mengingatkan Undang-undang Republik Indonesia menyebutkan bahwa umat beragam hars saling menghormati.

"Jika dibiarkan kasus ini berlalu, kerukunan umat beragama akan menjadi ancaman untuk negara ini," ujar Anwar Abbas.

Namun kesulitan pada akhirnya akan membawa kenikmatan. Insiden pembakaran masjid di Tolikara mampu menggerakkan warga Muslim untuk bahu membahu membangun kembali masjid yang rata dengan tanah itu. Dalam waktu sebulan pascainsiden, fondasi dan rangka bangunan masjid sudah kembali berdiri dengan menghimpun dana miliaran rupiah yang mengalir dari berbagai lembag dan donatur. Kini majid di Tolikara yang akhirnya berganti nama itu, sudah berdiri masjid baru yang lebih megah.

Namun tentu saja yang dibutuhkan warga Muslim di Tolikara, juga masyarakat Muslim lainnya di seluruh pelosok negeri bukan hanya bangunan masjid yang megah. Sebab keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan ibadah, adalah hak warga yang harus harus dipenuhi dan dijamin kebebasannya oleh negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement