Kamis 16 Jul 2015 00:19 WIB

Ikadi: Lapang Dada di Tengah Perbedaan Penetapan 1 Syawal

Rep: C38/ Red: Erik Purnama Putra
Ketua Umum Ikadi KH Ahmad Satori Ismail.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ketua Umum Ikadi KH Ahmad Satori Ismail.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perbedaan metode penetapan 1 Syawal bukan hal yang perlu diributkan. Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), KH Ahmad Satori Ismail menyebutnya, perbedaan metode penghitungan itu sebagai keluasan ajaran Islam. Umat Islam perlu bersikap lapang dada menyikapi perbedaan.

“Hadisnya sama, ayatnya sama. Tetapi, ketika menafsirkan hadis atau ayatnya itu yang berbeda. Itu lah keluasan ajaran Islam. Keluasan ilmu dalam Islam,” kata Satori kepada Republika, Rabu (15/7).

Menurut Satori, adanya keluasan ajaran Islam menuntut kecerdasan setiap Muslim dan sikap lapang dada memandang perbedaan. Tidak hanya penetapan 1 Syawal, lanjut Satori, perbedaan serupa juga terjadi dalam hal rakaat shalat Tarawih, cara meletakkan tangan saat shalat, saat bertakbiratul ikram. Semua itu membutuhkan ilmu dan toleransi di antara umat Islam.

Menurut Satori, perbedaan adalah suatu hal yang alamiah. Ada banyak hal yang mungkin untuk berbeda. Lantaran itu, Islam mengajarkan umatnya bersikap toleran. Adanya perbedaan antar mahzab dalam Islam misalnya, melatih toleransi umat.

Dia menegaskan, di sini perlunya setiap Muslim memiliki wawasan yang luas. Tidak sekedar tahu, tapi berwawasan luas. Setiap kelompok boleh jadi merasa lebih mantap dengan keyakinan masing-masing. Menurut Satori, hal itu tidak masalah selagi masing-masing dalilnya disahkan oleh Rasulullah sesuai Alquran dan sunnah.

“Yang perlu dibangun di tengah masyarakat adalah toleransi supaya umat tidak meributkan perbedaan. Seandainya terjadi perbedaan dalam masalah Idul Fitri, Idul Adha, atau penetapan awal Ramadhan, biarlah sesuai keyakinan masing-masing,” kata Satori.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement