Senin 15 Dec 2014 17:21 WIB

Banyak Ketidaksinkronan, GAPMMI Nilai Implementasi UU JPH Sulit

Rep: c 83/ Red: Indah Wulandari
Makanan halal (ilustrasi)
Foto: republika.co.id
Makanan halal (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) menilai UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) sulit diimplementasikan.

“Dalam UU JPH terdapat peraturan yang dapat menimbulkan konflik dengan undang-undang lain,” terang Ketua GAPMMI Adhi S. Lukman, Senin (15/12).

UU yang dimaksudnya terkait Standarisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK) dan UU Perlindungan Konsumen. Dalam UU SPK, ujarnya,  disebutkan bahwa yang berhak mengakreditasi lembaga untuk standar, yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN).

Namun, dalam UU JPH disebutkan bahwa yang berhak melakukan akreditasi, yakni Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Lebih lanjut ia mengatakan, BPJPH juga menetapkan Lembaga Penjamin Halal (LPH). Padahal seharusnya, perusahaan sebagai pemohon berhak menentukan LPH sendiri.

Selain itu, dalam UU JPH disebutkan BPJPH yang melakukan audit dan mensertifikasi auditor. Padahal yang berhak mensertifikasi auditor, yakni lembaga sertifikasi profesi. 

"Saya kira UU JPH sulit diimplementasikan karena banyak konflik dengan UU yang lain dan juga ada pasal-pasal yang tidak sinkron,” tegas Adhi.

Salah satu ketidaksinkronan terdapat pada definisi produk yang sebenarnya luas, hanya dibatasi pada jenis makanan dan obat-obatan.

Hal lain yang krusial dari UU JPH, yakni terkait dengan halal dan haram. Dalam UU JPH  disebutkan, selain produk halal dan haram dilarang di pasarkan di Indonesia. Itu artinya jika produsen memasarkan suatu produk tanpa mencantumkan halal atau haram maka melanggar secara aturan hukum.

"Itu sangat tidak masuk akal. Oleh sebab itu saya sangat meragukan undang-undang akan jalan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement