Jumat 21 May 2010 16:57 WIB

RUU Nikah Siri tak Perlu Dipatuhi

Ilustrasi: nikah siri
Ilustrasi: nikah siri

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA--Hasil "Bahtsul Masail" di Pondok Pesantren Al Falah, Ploso, Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, pada 19-20 Mei 2010 merekomendasikan bahwa Rancangan Undang-Undang Pernikahan Siri yang di dalamnya mengatur sanksi pidana bagi pelakunya tak wajib dipatuhi. "Undang-undang itu sangat diskriminatif, sehingga wajibnya hanya bersifat `dlohir` (lahir). Tidak dipatuhi, juga tidak apa-apa," kata Ustaz Mahsus, selaku perumus "Bahtsul Masail" PP Al Falah saat dihubungi dari Surabaya, Kamis malam.

Mengacu referensi yang bersumber dari Alquran, hadis, dan sejumlah kitab kuning karya ulama salaf, dia menjelaskan, agama tidak mengatur kewajiban mencatatkan pernikahan kepada pemerintah.

"Para peserta `Bahtsul Masail` bersepakat bahwa bagi seorang pria dan wanita yang usianya sudah mencukupi, wajib menyegerakan nikah untuk menghindari perbuatan dosa. Mengingat sekarang ini banyak orang tidak mampu mengeluarkan biaya nikah, apalagi mereka yang tinggal di perdesaan, maka nikah siri menjadi jalan keluar," katanya seraya menyatakan agama membolehkan  pria berpoligami.

"Agama juga tidak mengatur kewajiban bersikap adil dalam hal kasih sayang karena tidak bisa diukur dengan takaran tertentu. Berbeda dengan nafkah lahir, memang mutlak diperlukan bagi orang yang berpoligami," katanya.

Oleh sebab itu, dia menganggap, draft sanksi dalam RUU Nikah Siri baik hukuman selama enam bulan hingga tiga tahun maupun denda Rp6-12 juta sebagaimana ada dalam Pasal 142 Ayat 3, maka itu akan sia-sia selama pemerintah tidak mengubah sistem pencatatan nikah. "Seharusnya yang dilakukan pemerintah saat ini adalah mempermudah `itsbat` (pencatatan) nikah dan menghilangkan pasal wajib mendapatkan izin tertulis dari istri pertama bagi seorang pria yang hendak berpoligami," katanya.

Masalah nikah siri, tambah dia, tidak hanya berasal dari niat seorang pria, melainkan juga dari seorang perempuan karena perbandingan populasi pria dan wanita. Mahsus merasa khawatir pemberlakuan undang-undang tersebut justru menjadi bumerang bagi pemerintah karena akan terjadi pelanggaran secara massal.

"Bahstul Masail" di PP Al Falah itu diikuti sekitar 200 santri dari 140 lembaga pondok pesantren yang tersebar di Pulau Jawa dan Pulau Madura. Selain Alquran dan hadis, para peserta "Bahtsul Masail" mengacu kitab-kitab fikih bermazhab Syafi`i, Hanafi, Maliki, dan Hambali dalam memutuskan persoalan yang berkembang di masyarakat.

sumber : ant
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement