Rabu 27 Jun 2012 14:08 WIB

Strategi Muslim AS Hadapi Minimnya Imam

Rep: Agung Sasongko/ Red: Djibril Muhammad
Muslim AS Sholat berjamaah saat berlatih basket
Foto: muslimvillage.com
Muslim AS Sholat berjamaah saat berlatih basket

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Kebutuhan akan imam lokal belum juga terpenuhi. Untuk menyiasati hal itu, beberapa tahun terakhir, Muslim AS membuat program adaptasi kepada para imam dari luar negeri.

Dalam program itu, para imam impor ini diberikan pelatihan bahasa Inggris. Dengan memiliki kemampuan, berbahasa Inggris yang baik, para imam diharapkan mampu menjadi komunikator yang baik bagi hubungan antar agama dan media. Tak hanya itu, pengetahuan mereka diukur guna disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan Muslim AS.

"Harus diakui, tidak semua imam yang datang berkualitas," papar Imam Islamic Center New England (ICNE), Rashid Noor, seperti dikutip thehuffingtonpost.com, Rabu (27/6).

Noor mengatakan program itu memang belum dijalankan serentak. Akibatnya, banyak imam tidak diketahui kualitasnya. Persoalan selanjutnya mereka yang datang umumnya tak masalah menerima gaji rendah. "Anda beri mereka gaji 20 ribu dollar, dan mereka dengan bahagia menerimanya," papar dia.

Juru Bicara Lingkar Islam-Amerika Utara, Naeem Baig megatakan Muslim AS cenderung memilih imam imigran karena meragukan kualitas imam lokal.

"Saya pernah bertemu dengan imam imigran di salah satu masjid. Ia tidak bisa berbicara bahasa Inggris, namun pengetahuan agamanya luar biasa. Muslim AS tidak mempedulikan seberapa buruk kemampuan berbahasa Inggris seorang imam, mereka hanya membutuhkan ilmu agamanya," kata dia.

Presiden Masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA), Imam Mohamed Magid mengatakan Muslim AS sudah terbiasa dengan imam imigran.

Persoalannya adalah, karakter generasi kedua berbeda dengan generasi pertama Muslim. "Apakah imam ini tahu Muslim generasi kedua sudah dipengaruhi kultur barat demikian kuat," kata dia.

Imam Khalid Nasr misalnya. Imam asal Mesir ini merupakan lulusan Al-Azhar. Pada 2000, ia tiba di AS, setelah diminta untuk mengisi kegiatan selama Ramadhan. Sebelum pulang, ia diminta untuk menjadi imam Masjid Raleigh, lantaran masjid itu tidak memiliki imam.

"Tidak mudah bagi saya untuk berbahasa Inggris. Yang lebih berat, Muslim yang saya didik ini merupakan generasi kedua, yang tidak displin, tidak sopan dan berperilaku seenaknya sendiri," kenang dia.

Nasr tak berdiam diri. Ia belajar bahasa Inggris.  Beruntung, ada siswa yang mau membantunya. Kemampuan bahasa Inggrisnya pun kian terasah. "Harus diakui, adalah tugas kami untuk menyesuaikan diri. Membantu para pemuda ini menghadapi tekanan," kata dia.

Menurut data ICNE, lebih dari 80 persen imam 2.200 masjid di AS merupakan imigran. Disaat bersamaan, setiap tahunnya, masjid-masjid di AS membutuhkan 100 imam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement