Selasa 11 Jun 2019 12:42 WIB

Ishmatuddin Khatun Berdiri untuk Pembebasan Al-Aqsha

Ia ikut berjasa merebut al-Aqsha dari tangan Tentara Salib.

Kubah Nabi, Kompleks Masjid Al Aqsha, Yerusalem, Palestina.
Foto: Screen Capture Youtube
Kubah Nabi, Kompleks Masjid Al Aqsha, Yerusalem, Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sejarawan Muslim, Ibn Katsir, dalam kitab Bidayah wa an-Nihayah, menggambarkan secara singkat siapakah sosok Ishmatuddin Khatun. Putri Mu'in ad-Din Unur penguasa Damasukus kala itu disebut-sebut sebagai figur perempuan terbaik pada masanya, paling terhormat, banyak berkonstribusi, dan tentunya sangat memegang prinsip-prinsip agama. 

Ayahnya menjadi bupati Damaskus pada 1138 dan memimpin kota atas nama para Emir muda dari Dinasti Burid. Saat ini, pesaing utama Damaskus menuju utara, Aleppo, dan Mosul, bersatu di bawah kepemimpinan Dinasti Zengid. Damaskus mempertahankan sekutu yang mulai goyah dengan tentara salib dari Kerajaan Yerusalem.

Alasan inilah yang mendorong pemimpin panglima Islam, sang pembebas Al-Aqsha, Shalahuddin al-Ayyubi, menikahinya pada 1176 M. Pernikahan itu berlangsung setelah suami pertama Khatun, yakni Nuruddin Zanki, meninggal dunia. Secara langsung ataupun tidak keberadaan Khatun di belakang Nuruddin Zanki dan Shalahuddin berpengaruh besar pada perlawanan terhadap tentara Salib.

Gelar Ishmatuddin tentu tak berlebihan. Ishmatuddin berarti kesucian agama. Sedangkan khatun bermakna perempuan terhormat. Penyematan julukan itu sangatlah pantas. Khatun adalah perempuan yang terkenal tak pernah lewat menempa diri dengan spiritual. 

 

Kerap membaca Alquran, bertahajud pada malam hari. Ibnu Katsir kembali menyebutkan, Khatun pernah marah-marah lantaran ia bangun kesiangan. Nuruddin Zanki lantas memerintahkan agar memukul beduk saat sahur agar segenap umat terbangung. Sang Gubernur Damaskus itu pun memberikan pahala bagi para pemukul beduk. Kedua pasangan itu juga tergolong sabar. Ini lantaran pernikahan mereka baru dikarunia anak setelah 20 tahun menikah. 

Tingginya spiritualis Khatun itu konon menurun pada anak semata wayangnya, yakni Ismail. Khatun mendidiknya dengan nilai-nilai luhur agama. Tidak pernah sama sekali memanjakannya dengan kehidupan duniawi. Pada 569 H, Ismail pernah memerintah Damaskus dan sekitarnya. Usianya ketika itu 11 tahun. Ia dijuluki  raja yang saleh. 

Sejarawan Ibn al-Atsir mengisahkan, ketika Ismail diserang sakit parah, para dokter menyarankan agar meminum khamar sebagai obat. Sang Raja Saleh itu menolak dan meminta saran para ulama terlebih dahulu. Seorang ahli fikih bermazhab Hanafi menganjurkan agar meneguk khamar tersebut dengan alasan darurat. 

Ismail tetap menolak, ia malah bertanya balik  kepada sang pakar fikih, apakah dirinya ridha bila ajal menjemput sementara ada unsur khamar yang haram dalam tubuhnya? Ismail pun akhirnya meninggal pada usia muda, belum genap 20 tahun. 

Amal sosial 

Perannya tak terhenti pada konstribusi perlawanan atas tentara Salib atapun tugas mendidik anak, Khatun mengikatkan pinggang dan membaktikan diri untuk pemberdayaan sosial. Tidak ada sifat bakhil dan kikir di diri Khatun. 

Ia menginfakkan hartanya untuk berbagai amal sosial, terutama pendidikan umat. Ini seperti dikisahkan oleh Abdul Qadir bn Muhammad an-Nuaimi ad-Dimasyqi di bukunya berjudul ad-Daris fi Tarikh al-Madaris. Khatun kerap bersedekah dan menggaji para ahli fikih. Ini tentunya juga tidak melupakan para kerabat atau keluarga dekatnya. 

Pada 573 H, Khatun mendirikan sekolah al-Khatuniyah. Lembaga pendidikan ini bercorak Mazhab Hanafi. Ini tak terlepas dari perhatian Khatun terhadap Mazhab yang berafiliasi pada Imam Abu Hanifah tersebut. Khatun mendanai langsung pembangunan sekaligus operasional, mulai dari penggajian para tenaga pengajarnya. 

Karier inilah yang membuat ia tak hanya disegani oleh internal umat Islam. William dari Tyre menggambarkan Khatun sebagai orang yang memiliki keberanian yang tidak dimiliki oleh wanita kebanyakan. Wajar, kepergian Khatun untuk selama-lamanya pada 26 Januari 1186 itu menjadi pukulan bagi Shalahuddin al-Ayyubi. 

Meskipun begitu, pada saat Ismat meninggal tahun 1186, Saladin menulis surat untuknya setiap hari. Ia menulis surat sepanjang masa pengobatannya dari penyakit yang panjang. Kabar kematian Ismat disembunyikan dari Saladin selama tiga bulan. Kini, di peristirahatan terakhirnya di Qasawiiyin, tak jauh dari Sungai Barday, ia bersemayam dan melewatkan al-Aqsha terjajah kembali. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement