Kamis 06 Jun 2019 00:33 WIB

Sejarah Halalbihalal

Sejarah halalbihalal itu unik, dalam arti, hanya di Nusantara

 Dirut Republika Agoosh Yooshran memberikan sambutan saat Halalbihalal pegawai Republika di Gedung Republika, Jakarta, Rabu (12/7).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Dirut Republika Agoosh Yooshran memberikan sambutan saat Halalbihalal pegawai Republika di Gedung Republika, Jakarta, Rabu (12/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada zaman Rasulullah SAW, istilah halalbihalal memang tak ditemukan. Hanya saja, esensi dari halalbihalal—yakni saling memaafkan—dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Misalnya, pada saat penaklukan Kota Makkah (Fathu Makkah). Beliau memaafkan semua orang yang pernah menyakitinya.

Fathu Makkah terjadi pada 10 Ramadhan tahun ke 8 Hijriah. Setelah berhasil memasuki Makkah, Rasulullah berseru kepada penduduk sekalian, “Barangsiapa yang berada di rumah Abu Sufyan, dia akan aman. Barangsiapa yang masuk masjid, dia aman. Barangsiapa masuk rumah dan menutup pintunya, dia aman.”

Baca Juga

Pasukan Muslimin lantas memusnahkan seluruh berhala dari sekitar Ka’bah. Meski tak ada paksaan meninggalkan kepercayaan musyrik, masyarakat Makkah akhirnya berbondong-bondong memeluk Islam. Semua bermula dari pemaafnya Rasul SAW.

Maka, tradisi halalbihalal dapat disejajarkan dengan upaya mencapai rekonsiliasi di antara sesama manusia, utamanya kaum Muslimin. Halalbihalal itu semacam “win-win solution.”

Menengok pada sejarah Fathu Makkah, kedua belah pihak tidak saling meniadakan. Pasukan Islam hanya memusnahkan berhala sehingga mengakhiri kaum musyrik. Penduduk Makkah pun tidak direnggut dari kebebasannya. Mereka tetap aman seperti sediakala. Pada akhirnya, kemenangan sejati pun tiba, yakni syiar Islam yang kian membesar.

Sejarah halalbihalal memang unik. Dalam arti, itu hanya terjadi di Nusantara. Setidaknya, ada beberapa cerita di balik awal-mula halalbihalal.

Ada yang menyebut tradisi halalbihalal bermula sejak zaman Wali Sanga. Sumber lain menyebut, istilah halalbihalal muncul pada 1945. Penggagasnya adalah Presiden Sukarno ketika Indonesia mengalami Idul Fitri pertama sejak 17 Agustus 1945. Untuk diketahui, momen Proklamasi Indonesia bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.

Menjelang Idul Fitri, Bung Karno ingin membuat suatu acara untuk kumpul-kumpul para tokoh. Selain ajang silaturahim, acara ini juga dimaksudkan sebagai syukuran kemerdekaan Indonesia. Bung Karno pun bertanya pada Buya Hamka tentang apa istilah yang sesuai untuk acara demikian.

“Silaturahim saja, atau syukuran,” jawab ulama Minangkabau itu. Namun, Bung Karno kurang puas karena istilah itu sudah terlalu umum dan bisa dipakai di luar konteks Idul Fitri.

Sang proklamator bertanya lagi, kali ini tentang hakikat Idul Fitri.

“Idul Fitri itu hari yang apa-apa diharamkan ketika bulan Ramadhan kembali menjadi halal,” kata Buya Hamka.

Dari situ, Bung Karno terbersit ide bahwa di dalam Lebaran itu antara yang halal saling bertemu. “Bagaimana kalau acara kumpul-kumpul itu dinamakan halalbihalal?” tanya dia.

“Tidak salah juga,” jawab Buya Hamka.

Kisah lainnya lebih populer tentang asal mula halalbihalal. Pada 1948, situasi politik di Tanah Air kurang kondusif. Banyak tokoh nasional yang berseberangan haluan pemikiran dan bahkan tindakan. Apalagi, Belanda masih terus menggempur Indonesia karena hendak menjajah kembali.

Menjelang Idul Fitri tahun itu atau saat pertengahan Ramadhan, Presiden Sukarno mengundang para tokoh ke Istana. Hadir antara lain tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Wahab Chasbullah.

Kiai Wahab mengusulkan adanya semacam silaturahim nasional. Usul ini disetujui hadirin. Intinya, mereka ingin agar hubungan yang sebelumnya renggang dapat mencair di antara para tokoh politik nasional. Agar lebih pas, Bung Karno menginginkan agar momen silaturahim itu dalam suasana Idul Fitri.

Hanya saja, Bung Karno mau istilahnya bukan silaturahim karena dinilainya terlalu biasa.

“Itu gampang. Begini, para elite politik tidak mau bersatu itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan, sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halalbihalal,” jelas Kiai Wahab.

Saran ini diikuti Bung Karno. Akhirnya, digelarlah silaturahim politik yang bertajuk “Halalbihalal” itu.

Sejak saat itu, halalbihalal menjadi tradisi tiap momen Idul Fitri di lingkungan instansi-instansi pemerintahan. Masyarakat lantas mengikutinya, terutama setelah disemarakkan kalangan Nahdliyin. Jadilah halalbihalal itu kebiasaan yang tak lepas dari kultur budaya bangsa Indonesia.

Melihat sejarahnya, alangkah baik bila pada Idul Fitri tahun ini juga diadakan rembuk nasional untuk meredakan tensi politik belakangan ini. Para tokoh dapat mengadakan halalbihalal secara bersamaan di tempat yang sama, sehingga terjalin upaya saling memaafkan dan penuh kejujuran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement