Sabtu 11 May 2019 16:59 WIB

Baca Alquran, Satu dari 4 Bekal Muslim Bawean Merantau

Masyarakat Bawean dikenal berbekal modal agama sebelum merantau.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Alquran/Ilustrasi
Alquran/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Masyarakat Muslim Bawean dikenal sangat religius. Sebelum merantau ke tanah perantauan masyarakat Bawean yang hidup di zaman dulu harus memiliki empat bekal di antaranya adalah harus bisa membaca Alquran.

"Sebelum merantau orang Bawean harus memiliki empat hal sebagai bekal, yaitu bisa membaca Alquran dengan baik, bisa membaca //Barzanji//, sudah mengaji kitab Sullam Safinah (kitab dasar agama), dan bisa pencak silat," ujar Muhyiddin, wartawan Republika.co.id, dalam diskusi bertema “Religion and Locality Case of Bawean Islam" di Smart Room Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Jumat (10/6) yang digelar Prodi Magister (S2) Aqidah dan Filsafat Islam (AFI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.  

Baca Juga

Menurut dia, orang Bawean banyak yang merantau ke beberapa negara tetangga seperti ke Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Proses tradisi merantau tersebut telah berlangsung sejak akhir abad ke-19, tepatnya pada 1980-an. 

Salah satu peserta diskusi asal Malaysia, Mak Cik Salma mengakui bahwa masyarakat Bawean sangat banyak yang merantau ke negaranya sejak dulu dan dikenal ulet dalam bekerja. 

Namun, kata dia, orang Malaysia mengenal masyarakat Bawean dengan panggilan Boyan. "Memang mereka sangat giat dan tekun dalam bekerja. Tapi kita mengenal Bawean sebagai Boyan," kata Mak Cik Salma, yang sedang menempuh studi filsafat di program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.  

Peneliti dari Leeds University UK, Jonathan D Smith, mengatakan secara teoritis tentang kajian agama dan lokalitas. Kandidat doktor studi agama ini mengatakan, lokalitas sangat penting dalam kajian agama. Tanpa menyadari ini, peneliti agama akan rawan tergelincir dalam generalisasi berlebihan atau menerjemahkan lokalitas dalam kacamatanya sendiri. 

Dengan lokalitas, para pengkaji agama akan terbantu untuk menghadirkan banyak gambaran tentang suatu agama, sehingga perspektif kita akan agama akan menjadi semakin luas. Namun, menurut dia, para peneliti harus membuang stereotif yang tidak berguna untuk mencapai hal itu. 

“Hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan membuang stereotip-stereotip yang tidak berguna dalam membaca lokalitas agama," kata dia.    

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement