Kamis 25 Apr 2019 22:44 WIB

Cara Komunikasi Nabi Muhammad yang Efektif dan Afektif

Rasulullah SAW berbicara dengan memerhatikan terlebih dahulu lawan bicaranya

Rasulullah
Foto: Wikipedia
Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah Muhammad SAW merupakan sosok yang pengertian. Dalam arti, beliau shalallahu 'alaihi wasallam selalu mempertimbangkan dengan siapa dirinya berbicara. Dengan begitu, cara komunikasinya akan efektif sekaligus afektif.

Rasulullah SAW selalu peka terhadap kapasitas lawan bicaranya. Beliau berbicara dengan memerhatikan kadar kemampuan mereka. Sebab, kemajemukan adalah sunnatullah. Tiap orang memiliki tingkat pengetahuan dan konteks yang berbeda-beda. Dengan memerhatikan hal itu, penyampaian ilmu atau pesan-pesan dari beliau tidak akan menimbulkan kesalahpahaman.

Baca Juga

Rasulullah SAW selalu mempertimbangkan perbedaan kadar tiap lawan bicaranya. Kepada orang yang dinilai cerdas, beliau cukup menggunakan isyarat atau metafora. Tidak langsung ke pokok persoalan, karena demikianlah percakapan antarorang-orang yang berilmu. Adapun dengan orang yang daya tangkapnya terbatas, maka beliau shalallahu 'alaihi wasallam menjelaskan dengan contoh-contoh yang lebih konkret.

Umpamanya, merujuk pada sebuah hadits riwayat dari Abu Hurairah. Dikatakan di sana sebagai berikut.

 

“Seorang laki-laki dari Bani Fazarah datang kepada Nabi SAW, kemudian berkata: ‘Istriku melahirkan seorang anak yang berkulit hitam dan aku tidak mengakui anak itu.’

Rasulullah SAW bertanya: ‘Engkau mempunyai unta?’ Ia menjawab: ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘apa warna kulit untamu itu?’ Ia menjawab: ‘Merah.’

Beliau bertanya: ‘Apakah pada kulitnya terdapat warna kelabu hitam-hitam?’ Ia menjawab: ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Dari mana warna itu?’ Ia menjawab: ‘Mungkin warna itu berasal dari keturunannya.’ Maka beliau berkata: ‘Inipun (anak lelaki Bani Fazarah itu --Red) mungkin saja berasal dari keturunannya.’"

Dalam kesempatan itu, Rasulullah SAW memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada orang dengan kapasitas yang demikian. Yakni, tentang genetik. Beda perspektif antara orang yang berilmu dan kurang berilmu tidak mesti merendahkan salah satu pihak. Contohlah akhlak Nabi SAW, seperti dinarasikan itu. Beliau memberikan pemahaman kepada si penanya tanpa membuatnya bingung atau tersinggung.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement