Kamis 14 Mar 2019 16:23 WIB

Ketika Khalifah Umar Mencari Sang Pemuda Langit (3-Habis)

Khalifah Umar mencari Uwais al-Qarni karena wasiat dari Rasul SAW.

Ilustrasi Berbakti kepada Orang Tua
Foto: Republika/Da'an Yahya
Ilustrasi Berbakti kepada Orang Tua

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tibalah musim haji setelah beberapa mula awal kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab. Di antara rombongan haji, banyak pula yang berasal dari Yaman. Tanpa banyak diketahui siapa-siapa, Uwais al-Qarni ikut dalam suatu kafilah dagang yang menurut jadwal sempat transit di Makkah.

Umar, seperti biasanya musim haji, berdiri di pintu gerbang Madinah. Sang amirul mu`minin itu mengenakan pakaian layaknya orang biasa. Dia lantas bertanya kepada suatu kafilah yang dilihatnya datang dari arah Yaman.

Baca Juga

"Kalian dari wilayah mana?" tanya sahabat Nabi SAW yang bergelar al-Faruq itu.

"Dari Yaman," jawab salah seorang dari mereka.

"Apakah kalian mengenal seseorang bernama Uwais? Uwais al-Qarni?" tanya Umar lagi.

Hampir seluruh anggota kafilah itu menggelengkan kepala. Mereka, seperti halnya masyarakat Yaman, memang sudah mendengar kabar bahwa sang khalifah sering bertanya keberadaan sosok bernama Uwais kepada tiap rombongan haji asal Yaman.

Di Yaman pun, orang-orang heran, siapa pula Uwais al-Qarni? Desas-desus pun tersebar bahwa sosok yang dicari itu amatlah istimewa dan terhormat, sampai-sampai pemimpin sekaliber Umar pun mencari-carinya.

Maka di benak mereka, figur Uwais al-Qarni mestilah orang hebat, berpenampilan bak raja, dan sebagainya. Karena itu, mereka mengaku tidak tahu apakah ada Uwais di antara rombongan.

Tiba-tiba, seseorang menyeruak dari kerumunan. "Wahai sang penanya. Aku tahu seorang penggembala kambing bernama Uwais," kata dia.

Wajah Umar langsung merona gembira. Dengan antusias, dia bertanya, "Di manakah dia sekarang?"

"Dia ada di sana, di ujung arak-arakan kafilah ini," jelas orang tadi, sembari menjelaskan ciri-ciri yang dimaksud.

Maka Umar sampailah ke pria yang ditujunya itu. Setelah mengucapkan salam, dia pun bertanya.

"Siapa nama engkau?"

"Saya 'Abdullah," jawab Uwais al-Qarni.

"Saya pun 'Abdullah, hamba Allah. Maksudku, nama engkau," Umar meminta klarifikasi.

"Saya Uwais," jelas dia.

"Bolehkah saya melihat telapak tangan engkau?" tanya Umar lagi. Uwais mempersilakannya.

Ketika dia melihat adanya tanda fisik--sebagaimana yang diisyaratkan Nabi SAW--maka Umar berjingkat gembira. Amirul mu`minin lantas memintanya agar berdoa kepada Allah supaya mengampuni dirinya.

Uwais al-Qarni pun melakukan apa yang dimintanya. Kemudian, Umar memintanya agar tetap di tempat, jangan ke mana-mana.

Tidak lama kemudian, Umar datang bersama dengan Ali bin Abi Thalib.

"Wahai amirul mu`minin, benarkah dia yang bernama Uwais?" tanya Ali.

"Benar, wahai Ali. Ayo, lakukanlah sebagaimana yang diwasiatkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam kepada kita," sambung Umar lagi.

Betapa terkejutnya Uwais al-Qarni mendengar nama amirul mu`minin disebut-sebut.

"Apakah Tuan benar Umar bin Khaththab!? Dan Tuan ini Ali bin Abi Thalib, keponakan Rasulullah?" tanya Uwais masih dengan wajah takjub.

Keduanya membenarkan. Namun, yang lebih menakjubkan lagi bagi Uwais adalah, permintaan keduanya.

photo
(sumber: repro buku Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali)

Memangnya, siapa dirinya? Sampai-sampai Umar dan Ali--dua sahabat Nabi SAW yang mulia--memintanya untuk berdoa kepada Allah agar mengampuni mereka.

Bagaimanapun, Uwais tetap melaksanakan permintaan itu. Sesudah dia berdoa, Umar dan Ali pamit dan pergi dengan wajah berbinar gembira.

Ternyata, Ali bin Abi Thalib mengabarkan kedatangan Uwais al-Qarni ke warga Makkah. Berita itu menyebar dari mulut ke mulut. Maka seluruh jamaah haji tahun itu mencari-cari di mana Uwais al-Qarni.

Sayangnya, mereka tidak menemukan yang dicari. Uwais kembali "menghilang", bak ditelan padang pasir. Mungkin, dia sudah merasakan ada yang aneh dengan semua ini. Pribadinya yang rendah hati membuatnya lebih memilih menyingkir dari ketenaran.

***

Beberapa tahun kemudian, Uwais al-Qarni diketahui meninggal dunia. Menjelang ajalnya, dia tetap sebagai orang miskin biasa. Pekerjaannya di samping menggembalakan kambing orang, juga pemulung dan mendaur ulang barang-barang bekas yang telah dibuang warga.

Demikianlah kisah orang saleh yang disebut Nabi SAW sebagai "penghuni langit." Di dunia, dia tampak bukanlah siapa-siapa. Namun, namanya dikenal harum oleh seluruh penghuni langit. Semua berkat rasa cinta dan baktinya terhadap ibunda.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement