Rabu 13 Mar 2019 16:16 WIB

Sejuta Kisah dan Pesona di Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Pembangunannya melibatkan 500 orang yang berasal dari Majapahit, Demak, dan Cirebon.

Masjid Sang Cipta Rasa atau yang dikenal juga Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon, Jawa Barat.
Foto: Republika/WIhdan Hidayat
Masjid Sang Cipta Rasa atau yang dikenal juga Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Indonesia, terdapat sejumlah masjid yang memiliki nilai-nilai sejarah dan keindahan arsitekturnya. Masjid-masjid tersebut menjadi saksi perkembangan Islam di Tanah Jawa. Salah satunya adalah Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon. Menurut beberapa versi, Sunan Gunung Jati adalah penggagasnya.

Sunan Gunung Jati kemudian menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya dan dibantu oleh arsitek Majapahit bernama Raden Sepat. Pembangunannya melibatkan 500 orang yang berasal dari Majapahit, Demak, dan Cirebon.

Konstruksi saka guru masjid (pilar utama) berjumlah 12 buah, menyangga atap utama yang berbentuk limasan susun tiga. Satu dan yang lain dihubungkan dengan balok-balok melintang dan masing-masing ikatannya menggunakan pasak. Uniknya, salah satu tiangnya terbuat dari serpihan-serpihan kayu yang disusun dan diikat. Tiang ini dikenal dengan nama sokotatal.

Ada makna filosofis di balik tiang sokotatal, bahwa persatuan yang kokoh bisa menopang beban seberat apa pun. Siapa gerangan pembuat pilar yang sarat nilai itu? Beberapa sumber mengatakan, pembuatnya adalah Sunan Kalijaga. Namun, ada pula yang berpendapat Sunan Gunung Jati.

Di dalam ruang shalat utama terdapat mihrab dari batu putih berukir motif bunga teratai hasil kreasi Sunan Kalijaga. Bentuknya merupakan hasil adaptasi dari ragam hias arsitektur Hindu. Di mihrab juga terdapat tiga buah ubin bertanda khusus yang melambangkan tiga ajaran pokok agama, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Konon, ubin tersebut disusun oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga.

Elemen masjid bagian dalam lainnya yang sarat dengan nilai budaya adalah mimbar. Mimbar itu berukir hiasan sulur-suluran, dan pada kakinya ada bentuk seperti kepala macan. Hiasan ini mengingatkan kita pada zaman kejayaan Prabu Siliwangi di tanah Pasundan.

Dinding-dinding ruangan dihiasi porselen buatan Tiongkok berbentuk piring warna merah dan biru. Menurut cerita, piring-piring porselen itu dibuat pada masa Dinasti Ming. Ruang utama masjid berukuran 17,8 x 13,30 meter. Di sini terdapat sembilan pintu dan 44 lubang angin. Jumlah pintu melambangkan jumlah wali yang berjasa menyebarkan Islam di Tanah Jawa (Walisongo).

Satu pintu utama terletak di bagian timur, empat pintu lainnya berukuran kecil, dan empat pintu lagi berukuran sedang. Pintu utamanya bernama Narpati berukuran tinggi 240 cm dan lebar 124 cm. Pintu utama ini hampir tidak pernah dibuka, kecuali pada saat Shalat Ied atau pada waktu perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Pada hari-hari biasa, pengunjung masuk ke ruang dalam masjid melalui pintu kecil dan pendek. Untuk melewatinya harus membungkukkan badan. Ini juga mengandung makna simbolis bahwa orang Muslim harus merendahkan diri dan tidak sombong ketika berhadapan dengan Allah SWT.

Sejak didirikan hingga sekarang, Masjid Agung Sang Cipta Rasa telah mengalami beberapa kali perbaikan. Perbaikan pertama dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1934. Pada 1960 dilakukan perbaikan pada atap dan talang. Pemerintah Daerah Cirebon menambahkan serambi depan pada 1972-1974. Dan pada 1975-1978, dilakukan pemugaran secara keseluruhan dengan tetap mempertahankan elemen-elemen aslinya.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement