Jumat 08 Mar 2019 21:05 WIB

Sejarah Keturunan Hadhrami, dari Yaman hingga Indonesia (3)

Inilah persebaran orang-orang Hadhrami.

(ilustasi) Samudra Hindia
Foto: tangkapan layar google
(ilustasi) Samudra Hindia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meskipun secara sosial berkedudukan tinggi, kaum sayyid tidak punya kekuatan politik yang memadai. Mereka hanya dapat bertahan di sana menghindari rupa-rupa prahara, mulai dari konflik antardinasti kecil selama abad ke-13 hingga munculnya Kesultanan Kathiri pada abad ke-16 yang akhirnya dikuasai Inggris.

Baca juga: Sejarah Keturunan Hadhrami, dari Yaman hingga Indonesia (2)

Ketidakstabilan tersebut mendorong mereka atau Hadharim umumnya untuk merantau ke pesisir Afrika Timur dan Asia.

Alasannya berkelana ke luar Hadhramaut tidak hanya lantaran kegentingan politik. Darah pelaut ulung memang mengalir dalam tubuh mereka. Sejak ratusan tahun silam, bangsa Arab akrab dengan jalur maritim yang menghubungkan Laut Tengah, Samudra Hindia, dan Laut Cina Selatan.

Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara dalam salah satu bukunya mengutip TW Arnold (1968). Disebutkan, bangsa Arab telah menguasai perniagaan di Sri Lanka sejak abad kedua SM. Kaum cendekiawan Eropa pun mengakui mereka sebagai perintis globalisasi atau perdagangan dunia. Pengakuan itu antara lain disampaikan orientalis Austria abad ke-19, Aloys Sprenger, sebagaimana dikutip Benedikt Koehler dalam buku Early Islam and the Birth of Capitalism.

Dengan demikian, jauh sebelum risalah Islam ada, bangsa Arab berperan penting dalam lalu lintas komersial Asia-Afrika-Eropa. Pada masa wafatnya Rasulullah SAW atau sekitar abad ketujuh, para pelaut Arab mendominasi distribusi rempah-rempah dari pusatnya di Maluku hingga bandar-bandar di Laut Tengah, utamanya Venesia (Italia).

Menurut Abdul Hadi WM dalam buku Cakrawala Budaya Islam, mereka tidak hanya membawa semangat berdagang dan berinteraksi dengan penduduk-penduduk lokal, tetapi juga memperkenalkan Islam.

Bagi bangsa Arab, jalur rempah-rempah merupakan medium bisnis sekaligus pengembangan budaya dan agama. Hal itu cenderung berbeda dengan bangsa Eropa yang melihatnya pertama-tama dari segi komersial.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dalam bukunya, Sejarah Umat Islam, menjelaskan, para pebisnis Eropa terobsesi dengan komoditas tersebut lantaran selalu laku, meskipun harganya amat mahal.

Di Venesia, misalnya, nilai barang tersebut bisa melonjak 1.000 persen daripada harga di tangan pertama. Tidak mengherankan bila muncul ungkapan semacam peperduur, yang dalam bahasa Belanda artinya ‘semahal lada.’ Masyarakat Eropa saat itu meyakini, siapa saja yang menguasai jalur rempah-rempah dunia akan dapat merajai pasar Eropa.

 

Sebelum Age of Discovery

Ketika Turki Utsmaniyah berkuasa dan membatasi akses maritim di Laut Tengah pada 1453, para pelaut Kristen Eropa harus memutar otak. Pada akhir abad ke-15, orang-orang Portugis mulai merintis jalan menuju India dan Maluku, sembari memanfaatkan pengetahuan navigasi kaum Muslim yang biasa mengarungi Samudra Hindia dan Atlantik.

Tidak hanya uang, mereka juga membawa senjata bubuk mesiu. Zaman Penjelajahan (Age of Discovery) pun dimulai, yang pada akhirnya memunculkan kolonialisme Barat atas Timur.

Jauh sebelum abad ke-15 alias Age of Discovery, orang-orang Hadhrami mulai menyebar ke pantai-pantai Asia, termasuk Nusantara. Menurut Syed Farid Alatas dalam uraiannya, Hadhramaut and the Hadhrami Diaspora: Problems in Theoretical History, proses Islamisasi pelbagai wilayah di pesisir Samudra Hindia tidak lepas dari peran migrasi komunitas asal Hadhramaut.

Dia menjelaskan, para ulama Alawiyin membagi perkembangan sejarah mereka ke dalam empat tahap.

Pertama, masa sejak abad kesembilan hingga ke-13. Kala itu, Ahmad bin Isa dan kemudian cucunya, Alwi bin Ubaidillah, memimpin masyarakat Hadhramaut. Kaum Alawiyin masih belum mengikuti tarekat sufi tertentu dan tidak bermazhab Imam Syafii—sekalipun kerap mengeluarkan fatwa yang sejalan dengan aliran fiqih tersebut.

Kedua, era sejak abad ke-13 hingga ke-17. Pada masa ini, komunitas Alawiyin mulai mengembangkan tarekat al-Alawiyyah. Ciri-cirinya lebih longgar, tidak “menjauhi kerumunan” bila dibandingkan tarekat-tarekat lainnya. Syed Farid menyebut, itulah satu-satunya tarekat yang di dalamnya persoalan keturunan (nasab) menjadi identitas penting.

Pengadopsian jalan sufi itu dirintis sejak Ustaz al-Adhham Muhammad al-Faqih memeroleh ijazah al-khirqa dari Syekh Abu Madyan Syuaib bin al-Husain. Al-Faqih merupakan muqaddam dari generasi ke-13 keturunan Ali bin Abi Thalib.

Ketiga, terjadi sejak akhir abad ke-17 hingga ke-20. Pada masa inilah sebutan habib mulai tenar. Masyarakat tempatan mengucapkan gelar itu untuk merujuk pada alim ulama panutan dari Alawiyin. Menurut Syed Farid, dalam periode tersebut terjadi gelombang perpindahan komunitas Hadhramaut ke India dan Asia Tenggara. Keempat, merupakan era kontemporer atau pasca-kolonial.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement