Senin 18 Feb 2019 06:04 WIB

Mustafa Sabri, Syaikhul Islam Terakhir Ustmaniyyah (3-Habis)

Dia wafat jauh dari tanah kelahiran

Sebuah buku tentang Mustafa Sabri Effendi
Foto: tangkapan layar amazon.com
Sebuah buku tentang Mustafa Sabri Effendi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kaitannya perang pemikiran (ghazwul fikri) untuk menghadapi kaum sekuler Turki, Mustafa Sabri Effendi memberikan banyak argumen.

Sebagaimana termuat dalam salah satu bukunya, Mas’alat al-Tarjamat al-Qur’an. Dia menyinggung anjuran pemerintah Mustafa Kemal Ataturk yang mengganti bacaan-bacaan dalam sholat dari bahasa Arab menjadi bahasa Turki Modern.

Dengan dalil-dalil yang meyakinkan, Mustafa Sabri membantah imbauan penguasa yang pro-sekulerisme ini. Dia menegaskan, ajaran Islam tidak membolehkan umatnya untuk memodifikasi tuntunan, yang jelas-jelas telah dicontohkan Rasulullah SAW. Bagi dia, Mustafa Kemal jelas-jelas telah mengintimidasi kaum Muslimin.

Keruntuhan Dinasti Utsmaniyyah sungguh memilukan hatinya. Dia sempat khawatir terutama tentang masa depan ukhuwah islamiyyah. Seperti diungkapkan Mehmet Kadri Karabela dalam tesisnya untuk McGill University (2003), ada pandangan Mustafa Sabri bahwa berakhirnya dinasti tersebut menandakan krisis dalam tubuh umat Islam sedunia.

Dia mengeskpresikan kekhawatiran ini dalam kata pengantar bukunya, Mawqif al- 'Aql: “Kita telah kalah!” Buku itu berisi berbagai kritiknya terhadap tren pemikiran Islam dan Eropa sekuler pada awal abad ke-20.

Pada 1938, Mustafa Kemal Ataturk memberikan kelonggaran hukum kepadanya. Namun, Mustafa Sabri toh menolak hal itu. Sebab, dia menilai Ataturk telah mengubah sama sekali wajah islami Turki.

Demikianlah, mubaligh ini tutup usia jauh dari tanah kelahirannya pada 12 Maret 1954 di Mesir.

Belakangan, ketokohannya mengundang banyak peneliti untuk mengomentarinya. Fethullah Gulen, misalnya, memandang Mustafa Sabri Effendi sebagai tokoh yang sangat argumentatif dan kritis dalam melihat pelbagai masalah pada eranya.

Seperti diakui Karabela, Mustafa Sabri sendiri memaklumkan, sebuah kritik hendaknya tertuju pada gagasan, bukan pencetus atau penganjur gagasan itu.

Luasnya keilmuan syekh al-Islam terakhir dari Dinasti Utsmaniyyah itu menjadikannya tokoh yang gemar berpolemik. Sepanjang hayatnya, dia tidak terlampau memusingkan opini-opini publik yang tak mendasar. Tujuannya semata-mata mencerdaskan kehidupan intelektual kaum Muslimin.

Dalam hal ini, dia berfokus pada kehidupan dan cara pandang sekuler dalam abad modern. Dia kerap memperingatkan kaum Muslim agar mewaspadai modernitas yang serba-benda (materialisme). Jangan sampai lupa meneguhkan akidah agama sendiri.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement