Kamis 14 Feb 2019 20:35 WIB

Mengenal Hasan al-Bana, Sosok di Balik Ikhwanul Muslimin

Masa mudanya berlangsung dalam situasi sosial-politik Mesir yang dinamis

Hasan al-Bana
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
Hasan al-Bana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasan al-Banna lahir di Mesir pada 1906 dan wafat 43 tahun kemudian karena dibunuh. Pria itu dikenal luas sebagai pendiri Ikhwanul Muslimin, organisasi yang sampai kini terus berkiprah di Dunia Islam.

Dia berasal dari keluarga yang terhormat di tengah masyarakatnya. Kakek Hasan al-Banna, Syekh Abdurrahman, merupakan seorang pedagang sukses di Syamsyirah.

Namun, sepeninggalan Abdurrahman, ayah Hasan al-Banna memilih hijrah ke al-Mahmudiyyah untuk memulai fase hidup baru. Syeikh Ahmad, demikian nama ayah Hasan al-Banna, merupakan imam bermazhab Hanbali.

Dari ayahnya, Hasan memeroleh pendidikan agama secara intensif. Sementara, ibundanya berasal dari Abu Qaura. Hasan sendiri merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara.

 

Sejak muda, Hasan gemar belajar. Dia juga serius menghafal Alquran, mengkaji tata bahasa Arab, ushul fiqih, sejarah Islam, dan pengetahuan umum.

Di rumahnya, ada perpustakaan pribadi dengan koleksi yang cukup lengkap. Hasan al-Bana dan saudara-saudaranya dididik penuh disiplin oleh orang tua mereka.

Pendidikan formal Hasan al-Banna dimulai ketika berusia delapan tahun. Sampai umur 12 tahun, dia menempuh sekolah dasar di madrasah yang diasuh Syekh Muhammad Zahran. Kemudian, dia pindah ke sekolah lain, madrasah i’dadiyyah.

Di sana, Hasan al-Banna untuk pertama kalinya ikut organisasi kepemudaan. Lulus dari sekolah itu, dia meneruskan studi pada Madrasah Mu’allimun al-Awwaliyah di Damanhur.

Di antara syarat agar bisa diterima bersekolah di sana adalah menghafal Alquran 30 juz. Waktu itu, Hasan belum tuntas menghafal keseluruhan Kitabullah itu. Bagaimanapun, dia mendapatkan dispensasi, seraya berjanji dapat segera menyempurnakan hafalan 30 juz.

Dalam usia semuda itu, Hasan sudah merasakan konteks sosial Mesir. Sejak 1914, negara tersebut jatuh di bawah kekuasaan Inggris. Imbasnya, hukum positif yang didatangkan dari Benua Eropa dianggap berlaku di samping hukum Islam.

Waktu itu, 1920 atau satu tahun setelah revolusi. Kalangan intelektual Mesir mulai banyak menyuarakan berbagai kritik.

Secara umum, dinamika politik Mesir terbagi ke dalam dua kutub. Di satu sisi, ada pihak yang hendak mempertahankan ortodoksi Islam. Di sisi lain, ada pihak yang berupaya menghadirkan liberal-sekularisme.

Pertentangan dua kutub itu terjadi terutama setelah kekhalifahan Turki runtuh pada 1924. Demikian disarikan dari buku karya Gudrun Kramer, Makers of the Muslim World Hasan al-Banna.

Baca juga: Mengenal Hasan al-Bana, Sosok di Balik Ikhwanul Muslimin (2)

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement