Kamis 14 Feb 2019 07:12 WIB

A Hassan: Guru Pak Natsir, Kawan Debat Bung Karno (2)

Pada usia 34 tahun, A Hassan pindah ke Surabaya, Jawa Timur

(ilustrasi) A Hassan
Foto: republika/rendra purnama
(ilustrasi) A Hassan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semasa Muhammad Thaib menunaikan ibadah haji, Hassan tidak berpangku tangan. Dia pergi kepada Sayyid Abdullah Musawi untuk belajar bahasa Arab. Di luar itu, pemuda tersebut juga menemui pamannya, Haji Abdul Latief yang juga ulama terkenal di Malaka dan Singapura. Guru-gurunya yang lain adalah Syekh Hasan dan Syekh Ibrahim. Rihlah keilmuan itu terus dijalaninya hingga usianya 23 tahun.

Dengan bekal pengalaman itu, Hassan percaya diri melamar pekerjaan sebagai guru. Awalnya, dia diterima pada sebuah lembaga pendidikan khusus anak-anak keturunan India. Lokasinya berada di tiga tempat berbeda: Arab Street, Baghdad Street, dan Geylang Street, Singapura.

Setelah dua tahun menjalani profesi tersebut, dia pindah ke Madrasah Assegaf sehingga mendapatkan status pengajar tetap. Sekolah itu terbilang modern dengan menerapkan kelas berjenjang, dari dasar (ibtidaiyah) hingga menengah (tsanawiyah).

Baca juga: A Hassan: Guru Pak Natsir, Kawan Debat Bung Karno (1)

Di luar aktivitasnya sebagai guru, Hassan terlibat dalam redaksi majalah Utusan Melayu. Tugasnya mengelola rubrik “Etika.” Dia piawai menuangkan pikiran ke dalam tulisan. Sebuah artikelnya sempat menghebohkan publik karena mengandung kritik terhadap kehakiman.

Protes semacam itu belum pernah ada sebelumnya. Hassan mengecam institusi tersebut lantaran memeriksa pria dan perempuan Muslim yang bukan mahrom di tempat yang sama.

Pada 1918, dia menulis artikel lain berjudul “Apa Hukum Mencium Tangan Sayyid?” Nada tulisan itu jauh dari kesan mengecam keturunan Rasulullah SAW. Toh Hassan sendiri selalu mencium tangan beberapa sayyid yang dihormatinya. Bagaimanapun, jaksa memeriksanya karena tulisan itu. Dia akhirnya bebas setelah mampu meyakinkan dengan argumen, tulisannya tidak berisi penghinaan terhadap siapapun.

photo
Suasana kampung Arab di Surabaya awal abad 20.

 

Menginjak usia 34 tahun, Hassan hijrah ke Surabaya untuk meneruskan bisnis tekstil milik pamannya, Haji Abdul Latief. Kota pelabuhan itu bukan hanya tempat persinggahan kapal-kapal bisnis, tetapi juga para cendekiawan Muslim. Pada waktu itu, di sana sedang ramai perdebatan antara Kaum Muda dan Kaum Tua.

Perbedaan antara keduanya bukan soal umur, tetapi lebih pada gagasan. Yang pertama mendukung modernisme Islam, sedangkan yang lain hendak mempertahankan tradisi. Pada awal abad ke-20, dialektika antara dua kaum pemikiran itu sudah menjadi tren di hampir seluruh perkotaan di Nusantara, utamanya yang dihuni Muslimin terpelajar.

 

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement