Selasa 08 Jan 2019 15:35 WIB

Kuliner Peradaban Islam Menjangkau Hingga Eurasia

Jatuhnya Baghdad dan Andalusia tak mempengaruhi penyebaran kuliner islam.

Alhambra merupakan sebuah kompleks istana dan benteng peninggalan bersejarah sekaligus bukti jejak peradaban Islam di Eropa.
Foto: Republika TV/Kamila
Alhambra merupakan sebuah kompleks istana dan benteng peninggalan bersejarah sekaligus bukti jejak peradaban Islam di Eropa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1258, bangsa Mongol menaklukkan Baghdad dan menggulingkan Dinasti Abba siyah. Sementara, Kristen Iberia terus mendesak komunitas Muslim hingga selatan Andalusia. Meski begitu, pengaruh kuliner Islam tetap tak tercegah pengaruhnya.

Pada 1300-an, kota-kota di Asia Tengah bermunculan, seperti Samar kand, Bukhara, dan Merv bersamaan dengan Ke sultanan Islam di Delhi, India, Dinasti Mongol yang meninggalkan jejaknya di Cina, dan pengaruh Kristen di Eropa.

Di India Tengah, seperti diilustrasikan dalam Kitab tentang Kesenangan yang ditulis pada akhir abad ke-15, Sultan Mandu Ghiyat al- Din berada di taman bersama para koki wa nitanya. Resep samosa, satai, bola daging, dan penganan manis muncul di antara resep parfum dan obat-obatan.

Di Cina, ada pula buku tentang makanan yang ditulis oleh Kepala Tabib dan Rumah Tangga Istana Kekaisaran Cina, Hu Szu-hui, pada 1.300-an. Buku itu berjudul Hal-Hal Pen ting bagi Makanan dan Minuman Kaisar.

Baca: Tradisi Kuliner Peradaban Islam, Seperti Apa?

Buku tersebut menjelaskan bagaimana bang sa Mongol mengadopsi elemen makanan adiluhung dari raja-raja mereka sebagai bagian diplomasi. Sentuhan Islam dalam makanan tradisional Mongol terlihat, misalnya, pada sup yang dikentalkan menggunakan beras harum atau kacang, membumbuinya menggunakan kayu manis, kelabat, safron, kunyit, sari mawar, lada hitam, dan cuka.

Mereka menyiapkan makanan berbahan dasar mi dengan saus yogurt yang dicampur bawang seperti di Turki. Juga membuat isian pang sit seperti yang ada di Timur Tengah. Mereka membuat minuman dan penganan manis bergaya dunia Islam, termasuk minuman dari sari buah, selai, jeli, dan sirup. Untuk membuat beragam makanan itu, bang sa Mongol memasok bahan-bahan makan an dari dunia Islam. Tak hanya bahan makanan, Mongol juga mengimpor aneka perangkat makan dari dunia Islam.

Di Barat, Eropa mulai menemukan titik baliknya. Kota-kota kembali bergeliat. Teori kuliner yang mengandung unsur Islam kembali memasuki Eropa pada akhir abad ke-10 di Salernom, Naples. Kota kecil ini terkenal karena sebuah buku terjemahan seorang mualaf Afrika, Constantine, yang berjudul Resep Kesehatan Orang Salerno.

Perang Salib pada abad ke-11 melem pang kan jalan bagi cita rasa makanan dunia Islam untuk menyentuh Eropa. Kala itu, para peda gang dari Genoa, Barcelona, dan Venesia ber da gang dengan para pedagang Muslim yang akhirnya ikut merasakan rasa masakannya. Para pedagang itu membeli kuali dari Afrika Utara dan menjualnya di selatan Eropa.

Kristen akhirnya tak lepas dari warna ku liner dunia Islam. Di Spanyol, misalnya, makanan dari dunia Islam berbahan dasar rebusan daging yang diberi saus dikenal sebagai capi rotada. Couscous juga dikenal di Sisilia dan Spa nyol. Adonan tepung yang digoreng lalu diolesi madu atau ditaburi gula jadi bunuelos, beinets, dan donat yang dimakan pada hari-hari pera yaan umat Katolik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement