Rabu 05 Dec 2018 16:34 WIB

Dalam Islam, Petir Bukan Sekadar Fenomena Alam

Para ilmuwan modern sudah banyak meneliti tentang kedahsyatan petir.

Petir
Foto:

Teori sederhananya, udara yang dipanaskan oleh cahaya matahari naik membawa molekul-molekul air yang menguap di dalamnya. Ketika udara yang naik ini mencapai ketinggian dua sampai tiga km, udara tesebut bersentuhan dengan lapisan udara dingin.

Saat kenaikan udara, kristal-kristal es yang terbentuk di dalam awan melepaskan energi listrik statis yang terbentuk karena pergesekan. Energi listrik ini mengandung unsur positif (+) pada lapisan atas awan dan unsur negatif (-) pada lapisan bawahnya. Ketika awan cukup terisi untuk mengionisasi udara, petir pun terbentuk.

Penjelasan para ilmuwan tentang kronologis petir ini sebenarnya sudah dijabarkan dalam Alquran. Firman Allah SWT, "Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih. Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung. Maka, ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan." (QS an-Nur [24]: 43).

Dalam surah tersebut, Allah SWT menjelaskan kronologi pembentukan petir, sehingga menjadi kilatan yang hampir menghilangkan penglihatan. Alquran juga memaparkan bagaimana Allah SWT menggerakkan awan sebagai pemicu terjadinya petir.

Kedahsyatan petir juga dimaknai umat Islam sebagai bentuk tasbih dari para malaikat penjaga langit. Sebagaimana disebut dalam Alquran, "Dan guruh bertasbih memuji-Nya (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya." (QS ar-Ra'd [13]: 13).

Dalam hadisnya, Rasulullah SAW menyebut petir sebagai suara para malaikat. "Ar-Ra'du (petir) adalah malaikat yang diberi tugas mengurus awan dan bersamanya pengoyak dari api yang memindahkan awan sesuai dengan kehendak Allah." (HR Tirmizi).

Al-Khoro'ithi dalam Makarimil Akhlaq mengutip pendapat Ali bin Abi Thalib RA soal ar-Ra'du. Menurut Ali, ar-Ra'du adalah malaikat, sedangkan al-Barq (kilatan petir) adalah pengoyak di tangannya sejenis besi.

Ibnu Taimiyah mengatakan, ar-ra'du adalah masdar (kata kerja yang dibendakan) berasal dari kata ra'ada, yar'udu, ra'dan yang berarti gemuruh. Namanya gerakan pasti menimbulkan suara. Malaikat adalah yang menggerakkan dengan cara menggetarkan awan kemudian dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya.

Ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat 19, as-Suyuthi mengatakan bahwa ar-Ra'du adalah malaikat yang ditugasi mengatur awan. Dalam tafsir Jalalain juga disebutkan bahwa ar-ra'du adalah suara malaikat, sedangkan al-barq (kilatan petir) adalah kilatan cahaya dari cambuk malaikat untuk menggiring mendung.

Secara umum, umat Islam meyakini ar-Ra'du dengan malaikat yang ditugasi mengatur awan atau suara dari malaikat tersebut yang tengah bertasbih dan mengatur awan. Sedangkan, al-barq atau ash-showa'iq adalah kilatan cahaya dari cambuk malaikat yang digunakan untuk menggiring mendung.

Ibnu Abbas menambahkan, sesungguhnya petir adalah malaikat yang meneriaki (membentak) untuk mengatur hujan sebagaimana pengembala ternak membentak hewannya (Adabul Mufrod/722).

Jadi, ketika mendengar petir atau guntur, Nabi SAW mengajarkan doa, "Subhanalladzi sabbahat lahu," (Mahasuci Allah yang petir bertasbih kepada-Nya). Atau doa, "Subhanalladzi yusabbihur ro'du bi hamdihi wal mala-ikatu min khiifatih," (Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena rasa takut kepada-Nya).

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement