Selasa 20 Mar 2018 17:00 WIB

Cara Tepat Memahami Alquran

Usaha-usaha untuk menafsirkan Alquran sudah dimulai sejak Rasulullah

Alquran
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mungkin tidak akan bisa diterima dan berkembang luas di berbagai wilayah di luar Kota Makkah jika tidak didukung oleh perkembangan ilmu tafsir.

Pasalnya, tidak semua ayat yang terdapat dalam Alquran yang menjadi sumber utama ajaran Islam merupakan ayat-ayat jelas (muhkam). Tetapi, Alquran juga memuat ayat-ayat tidak jelas (mutasyabih), sebagaimana ditegaskan dalam surah Ali Imran ayat 7.

Alquran, di samping mengandung lafal-lafal yang mudah dan terperinci, juga memuat ayat-ayat yang perlu pemahaman secara lebih mendalam, termasuk ayat yang mengandung prinsip umum. Dengan keadaan seperti ini, tentu sulit bagi kaum Muslim untuk dapat memahami kandungan Alquran dan mengamalkannya.

Terlebih lagi bagi kelompok masyarakat yang tidak mengenal bahasa Arab. Untuk itulah, diperlukan ilmu tafsir yang bertujuan agar ayat-ayat Alquran tersebut dapat dijelaskan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan kehendak Allah SWT, tetapi tetap sebatas yang dapat ditangkap oleh seorang mufasir (ahli tafsir).

Usaha-usaha untuk menafsirkan Alquran sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, Nabi SAW merupakan mufasir pertama Alquran. Pada saat Allah SWT menurunkan wahyu-Nya, Rasulullah SAW mempunyai kewajiban untuk menyampaikan serta menjelaskan wahyu tersebut kepada para sahabat dan penduduk Makkah saat itu.

Meski kegiatan tafsir di kalangan para sahabat telah dilakukan sejak awal Islam diturunkan, tidak semua dari mereka memahami seluruh mufradat (kosakata) Alquran. Suatu ayat mungkin jelas bagi seorang sahabat, tetapi tidak jelas bagi sahabat lain. Hal itu karena mereka mempunyai tingkat pengetahuan dan pengalaman berbeda. Umar bin Khattab, misalnya, saat berada di mimbar menyebut surah Abbasa ayat 31, yakni wa fakihatan wa abban. Saat itu, dengan mudah Umar menemukan makna fakihatan (buah-buahan). Namun, tidak dengan abban (rumput-rumputan).

Hal serupa juga terjadi pada Ibnu Abbas yang tidak tahu arti ma fatir as-samawat (yang telah menciptakan langit) sampai datang dua orang yang sedang bertengkar soal sumur. Yang satu mengatakan, ana fatartuha (aku yang membuat sumur itu). Yang lainnya berkata, ana ibtada'tuha (aku yang memulai sumur itu). Dari pertengkaran tersebut, diketahui makna fatartu adalah ibtada'tu (menciptakan).

Pada masa ini, terdapat sepuluh orang dari sahabat Rasulullah SAW yang dipandang terkemuka dalam bidang Alquran. Mereka adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, dan Abdullah bin Zubair.

Dari jajaran Khulafa ar-Rasyidin, yang paling banyak memberikan penjelasan makna Alquran adalah Ali bin Abi Thalib. Mengenai ini, Ibnu Abbas pernah berkata, ''Tafsir Alquran yang aku miliki adalah dari Ali bin Abi Thalib.''

Namun, yang paling tepat untuk dijuluki 'penafsir Alquran' adalah Ibnu Abbas. Rasulullah SAW secara khusus pernah mendoakannya. ''Ya Tuhan, jadikanlah ia seorang fakih dalam bidang agama dan ajarkanlah takwil.'' Nabi SAW juga menyebut Ibnu Abbas sebagai turjuman Alquran (penerjemah Alquran).

Selain sepuluh orang ini, terdapat pula beberapa nama sahabat lainnya yang dikenal sebagai mufasir, yaitu Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement