Rabu 14 Mar 2018 13:36 WIB

Mengenang Keberanian Bangsa Arab Bebaskan Palestina

Program migrasi massal Zionis membuat populasi Yahudi di Palestina meningkat.

Pejuang Arab saat Perang Arab-Israel Pertama
Foto: wikiepedia.org
Pejuang Arab saat Perang Arab-Israel Pertama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah rahasia umum, konflik antara bangsa Arab dan Israel merupakan salah satu isu utama dalam kajian politik internasional modern. Sampai hari ini, perseteruan yang berakar sejak akhir abad ke-19 tersebut terus diperbincangkan banyak kalangan, tak terkecuali dunia Barat.

Konflik Arab-Israel dimulai dengan proyek besar Yahudi untuk merebut tanah Yerusalem dan sekitarnya dari tangan bangsa Arab Palestina. Rencana tersebut pertama kali diluncurkan oleh para tokoh Yahudi internasional dalam Kongres Zionis Pertama yang digelar pada 29-31 Agustus 1897 di Basel, Swiss.

Kongres itu diselenggarakan dan dipimpin oleh Theodor Herzl, seorang Yahudi asal Austria-Hungaria yang sekaligus juga salah satu pendiri gerakan Zionisme modern. Lebih jauh, tujuan dari kongres tersebut adalah untuk merumuskan rencana pembentukan negara Yahudi baru di Palestina—yang oleh kalangan Zionis dianggap sebagai 'tanah yang dijanjikan' bagi orang-orang Israel (Bani Israil).

Secara harfiah, istilah Zionisme sendiri berasal dari kata tzi-yon yang dalam bahasa Ibrani merujuk kepada bukit Sion yang terletak di Yerusalem, Palestina. Namun, definisi umum zionisme diartikan sebagai gerakan massal orang-orang Yahudi untuk menguasai kembali tanah leluhur mereka di Palestina.

Migrasi

Menjelang abad ke-20, warga Yahudi dari berbagai negara (terutama Eropa) mulai melakukan migrasi secara besar-besaran ke Palestina—yang ketika itu masih dikuasai oleh Kesultanan Turki Ottoman. Kegiatan tersebut selanjutnya mendapat dukungan penuh dari Kerajaan Inggris lewat penandatanganan Deklarasi Balfour pada 1917.

Ketika Perang Dunia I berlangsung antara 1914-1918, Kesultanan Turki Ottoman mengalami kekalahan besar. Sejumlah wilayah kerajaan itu jatuh ke tangan musuh, termasuk Palestina yang sejak 1922 berada di bawah mandat Inggris. Peluang kaum Zionis untuk mendirikan negara Yahudi pun semakin terbuka lebar sejak itu.

photo
Peta Palestina 1946-2000.

Program migrasi massal Zionis membuat populasi Yahudi di Palestina meningkat sangat pesat sejak Perang Dunia I. Menurut data sensus Ottoman, penduduk Palestina pada 1883 terdiri atas 408 ribu orang Arab Muslim, 44 ribu orang Arab Nasrani, dan 15 ribu orang Yahudi.

“Namun, pada 1946, komposisi tersebut berubah drastis menjadi 1 juta orang Arab Muslim, 145 ribu orang Arab Nasrani, dan 608 ribu orang Yahudi,” ungkap Komite Khusus PBB di Palestina (UNSCOP) dalam laporannya kepada Majelis Umum PBB pada 1947 silam.

Semakin masifnya jumlah permukiman Yahudi di Palestina menjadi ancaman tersendiri bagi orang-orang Arab. Tidak hanya kalangan Muslim, tetapi juga Nasrani. Ada semacam kekhawatiran, keberadaan masyarakat Yahudi tersebut bakal menggerus identitas bangsa Arab di negeri itu. Hal itu ditunjukkan dengan semakin dominannya penggunaan bahasa Ibrani di Palestina.

Eskalasi

Selama Palestina berada di bawah mandat Inggris, ketegangan antara bangsa Arab dan kaum pendatang Yahudi terus mengalami eskalasi. Gerakan nasionalisme yang mulai tumbuh berkembang di kalangan bangsa Arab sejak lepas dari pengaruh Ottoman (Pan-Arab), akhirnya mendorong mereka melakukan perlawanan terhadap gerakan Zionis. Kerusuhan Palestina 1920 dan Kerusuhan Jaffa 1921 hanya beberapa bentuk perlawanan yang dilakukan orang-orang Arab pada masa itu.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Inggris, selaku pemegang mandat atas Palestina, merasa kewalahan mengatasi berbagai konflik sengit yang terjadi antara komunitas Yahudi dan masyarakat Arab. Oleh karena itu, Inggris pun akhirnya menyerahkan masalah Palestina kepada PBB.

Keputusan Inggris tersebut lalu ditindaklanjuti Majelis Umum PBB dengan membentuk Komite Khusus PBB di Palestina (UNSCOP) pada 15 Mei 1947. Komite itu dibuat untuk mempersiapkan berbagai resolusi yang dapat digunakan dalam penyelesaian masalah Palestina.

photo
Warga Palestina berbincang santai di reruntuhan rumah akibat agresi Israel..

Dalam laporan UNSCOP kepada Majelis Umum PBB pada 3 September 1947, sebagian dari anggota komite mengusulkan rencana untuk membagi tanah Palestina menjadi tiga wilayah, yaitu sebuah negara Arab merdeka, sebuah negara Yahudi merdeka, dan Kota Suci Yerusalem. Opsi lainnya yang juga ditawarkan ketika itu adalah dengan meletakkan Palestina di bawah Sistem Perwalian Internasional.

Pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB merekomendasikan usulan UNSCOP tersebut dalam proposal yang dikenal sebagai Resolusi 181 (II). Komunitas Yahudi langsung menyetujui usulan itu.

Namun, Komite Tinggi Palestina dan negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab (Mesir, Irak, Lebanon, Arab Saudi, Suriah, Yordania, dan Yaman) menolak rencana tersebut. Mereka menginginkan Palestina menjadi negara kesatuan tersendiri, yang tidak dibagi-bagi.

Pada 14 Mei 1948, sejumlah tokoh Zionis di bawah pimpinan David Ben Gurion akhirnya mendeklarasikan berdirinya negara Israel. Peristiwa itu menyebabkan pecahnya Perang Arab-Israel Pertama.

Kekalahan

Dalam perang yang berlangsung selama hampir 10 bulan itu (sejak 15 Mei 1948 hingga 10 Maret 1949-Red), pasukan Yordania, Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, dan Arab Saudi bergerak ke Palestina untuk menduduki daerah-daerah yang diklaim sebagai wilayah “negara Israel”. Ada sekitar 45 ribu tentara yang dikerahkan oleh negara-negara Arab tersebut pada waktu itu.

“Sementara, di pihak Israel sendiri awalnya hanya diperkuat oleh 30 ribu prajurit, namun pada Maret 1949 meningkat jumlahnya menjadi 117 ribu tentara,” ungkap Yoav Gelber dalam buku Palestine 1948: War, Escape and the Emergence of the Palestinian Refugee Problem.

Perang Arab-Israel Pertama berakhir dengan kekalahan di pihak negara-negara Arab. Menurut catatan, jumlah tentara Arab yang gugur mencapai 7.000 orang. Perang itu juga menewaskan 13 ribu warga Palestina. Di samping itu, berdasarkan hasil penghitungan resmi PBB, ada 711 ribu orang Arab yang menjadi pengungsi selama pertempuran berlangsung.

Sebagai akibat dari kemenangan Israel tersebut, setiap orang Arab yang mengungsi selama Perang Arab-Israel Pertama, tidak diizinkan untuk pulang ke kampung halaman mereka yang kini sudah diklaim Zionis sebagai wilayah negara Israel.

 

“Oleh karena itu, para pengungsi Palestina yang kita jumpai hari ini adalah keturunan dari orang-orang Arab yang meninggalkan tanah air mereka ketika terjadinya perang 1948-1949,” tutur Erskine Childers lewat tulisannya, “The Other Exodus The Spectator”, yang dipublikasikan dalam buku The Israel-Arab Reader: A Documentary History of the Middle East Conflict,(1969).

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement