Jumat 02 Sep 2016 18:15 WIB

Delegasi Dakwah dengan Dunia Luar

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Dakwah/ilustrasi
Dakwah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Risalah Muhammad SAW muncul tatkala peradaban Barat tengah meredup. Kesadaran perlunya berkomunikasi dengan peradaban lain mendorong pengiriman sejumlah delegasi ke berbagai wilayah.

Jika ditelusuri, prinsip-prinsip petualangan itu tergambar dari pengiriman delegasi ke berbagai wilayah untuk dakwah Islam. Ekspedisi ini memang masih begitu sederhana, bukan dalam pengertian penjelajahan seperti yang berlangsung pada abad berikutnya.  

Dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Sekh Shafiyyurahman al-Mubarakfuri, disebutkan Rasul mengutus utusan khusus yang diposisikan sebagai diplomat untuk menyampaikan surat sekaligus menjelaskannya ke berbagai wilayah, seperti Negus Ethiopia, Binyamin (al-Muqawqis) di Mesir, Khosrau II Persia, Hercules Romawi, dan Uskup Dughathir.  

Pada era keemasan Islam, perkembangan astronomi Islam, penerjemahan naskah-naskah kuno ke dalam bahasa Arab, serta meningkatnya ekspansi perdagangan dan kewajiban menunaikan ibadah haji merupakan sejumlah faktor yang mendukung berkembangnya geografi di dunia Islam. Tak pelak, Islam banyak memberi kontribusi bagi pengembangan geografi.

Yossef Mroueh pernah menulis esai berjudul “Prepatory Committe for International Festivals to Celebrate the Millenium of the Muslims Arrival to the America”. Ia menjelaskan, seorang pakar sejarah dan geografi Abul Hassan Ali Ibnu al-Hussain al-Masudi dalam bukunya Muruj Adh-Dhahabwa Maad al-Jawhar (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels), menuliskan, Khaskhas Ibnu Sa'ied Ibn Aswad, seorang penjelajah Muslim dari Cordoba, Spanyol, berhasil mencapai Benua Amerika pada 889 M.

Dijelaskan, saat pemerintahan Khalifah Abdullah bin Muhammad di Andalusia, Khaskhas berlayar menyeberangi lautan Atlantik hingga mencapai sebuah negeri yang asing (al-ardh majhul). Ia pulang dengan membawa sejumlah barang dari benua asing itu yang kemudian bernama Amerika.

Sejak itulah, pelayaran menembus Samudra Atlantik yang saat itu dikenal sebagai "lautan yang gelap dan berkabut" semakin sering dilakukan oleh pedagang dan penjelajah Muslim.

Pada pertengahan abad ke-10, pada masa pemerintahan Bani Umayyah Andalusia, Khalifah Abdurrahman III (929-961M), banyak kaum Muslimin dari Afrika berlayar ke arah barat dari Pelabuhan Delbra (Palos) di Spanyol menembus “samudra yang gelap dan berkabut”. Dalam pelayaran itu, sejumlah kaum Muslimin memutuskan tinggal atau bermukim di negeri baru itu. Mereka inilah imigran Muslim gelombang pertama yang tiba di Amerika.

Pada 999 M, seorang penjelajah dari Granada bernama Muhammad Ibnu Farrukh melintasi lautan Atlantik. Ia berlayar ke arah barat. Dalam perjalanannya, ia melihat dua pulau dan menamainya Cpraria dan Pluitana.

Seorang pakar geologi dan pembuat peta, al-Syarif al-Idrisi, dalam bukunya Nuzhat al-Musytaq fi Ikhtiraq al-Afaq menuliskan perjalanan sekelompok pelaut Muslim dari Afrika Utara. Ekspedisi yang berangkat dari Lisbon, Portugal, ini ingin mengetahui ada apa di balik samudra. Mereka juga ingin tahu, berapa luasnya dan di mana batasnya. Hingga akhirnya, mereka menemukan daratan yang penghuninya bercocok tanam.

Banyak dari penjelajah yang melakukan perjalanan dalam upaya untuk menemukan rute perdagangan baru. Namun, dampak yang signifikan terlihat dari geografi. Dengan bepergian ke berbagai daerah di seluruh dunia, para penjelajah dapat mempelajari lebih lanjut tentang daerah-daerah, seperti Afrika dan Amerika. Belajar lebih banyak tentang tempat-tempat baru. Dengan penjelajahan, mampu membawa pengetahuan tentang dunia yang lebih besar. Selain hanya belajar tentang keberadaan tanah sendiri.

Eksplorasi juga banyak berlangsung ketika Dinasti Ottoman berkuasa di Turki. Salah satu petualang ternama itu adalah Ibnu Bathuthah. Mengutip Lincoln P Paine dalam Ships of Discovery and Exploration, perjalanan Ibnu Batuta sedikit berbeda. 

Ibnu Bathuthah itu memulai lawatannya ke penjuru dunia pada usia 22 tahun berawal pada 725 H/1325 M. Petualangannya itu berlangsung tak kurang dari 27 tahun. Negara-negara yang pernah disinggahinya adalah Arab Saudi, Tunisia, Libya, Mali, Timbuktu, India, Filipina, Vietnam, Bizantium, Konstantinopel, Rusia, dan lain sebagainya.

Bahkan, ia pun tak melewatkan bertandang ke Indonesia. Tepatnya, sekitar 754 H/1344 M. Konon, Ibnu Bathuthah menepi di tanah Sumatra (orang Arab dulu menyebutnya Samuthrah, Samudrah), tepatnya di Aceh yang dulu dikenal oleh orang Arab dengan nama Syahbandar.

Robert Dankoff dalam bukunya An Ottoman Mentality: The World of Evliya Çelebi menjelaskan, salah satu kisah perjalanan pernah ditulis oleh seorang Muslim dari Istanbul, Turki, bernama Evliya Celebi. Karya besarnya ini ia beri nama Seyahatname. Bukunya ini menggambarkan secara detail beragam pengalaman yang dialami Evliya di wilayah-wilayah yang dikunjunginya. Pada April 1640, dia mulai melakukan perjalanan pertamanya keluar dari Kota Istanbul.

Dia menuliskan tentang komunitas, gaya hidup, bahasa, maupun budaya dari orang-orang di wilayah tertentu. Buku tersebut merupakan catatan yang komprehensif untuk menggambarkan kehidupan pada abad ke-17 M. Evliya mampu menggambarkan objek-objek yang dilihatnya secara mendetail dan menarik.

Seyahatname juga menggambarkan hubungan antara Kekhalifahan Turki Usmani dan negara-negara lain. Buku ini juga mencakup beragam pengetahuan mengenai budaya, sejarah, geografi, cerita rakyat, bahasa, sosiologi, arsitektur, dan ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement