Rabu 20 Aug 2014 11:37 WIB

Menikahi Wanita Hamil (2-habis)

Wanita hamil (ilustrasi).
Foto: Republika/Prayogi/cv
Wanita hamil (ilustrasi).

Oleh: Hafidz Muftisany

Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam maklumat yang sama menyatakan seorang laki-laki boleh menikahi wanita yang hamil akibat perbuatan zina jika laki-laki tersebut adalah orang yang menghamilinya.

Dasar dari pendapat ini adalah hadis Rasulullah SAW. "Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya ke ladang orang lain.” (HR Abu Dawud).

Hadis ini menerangkan seorang wanita boleh melakukan akad nikah dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilannya. Karena wanita ini ibaratnya telah menjadi kebun yang ditanami bibit laki-laki itu. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah keterangan ini bukan berarti zina dilegalkan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 disebutkan, seorang wanita hamil di luar nikah bisa dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan tersebut juga dijelaskan bisa dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya. Kemudian, dalam perkawinan tersebut, juga tidak diperlukan akad nikah ulang jika sudah melahirkan.

Dasar hukum yang dipakai adalah kitab Al-Bajuri yang menyebut seorang lelaki menikahi perempuan yang hamil karena zina sah hukumnya. Boleh me-wathi sebelum melahirkannya.

Beberapa ulama mensyaratkan tobat sebagai syarat wajib yang dipenuhi. Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa menyebut menikahi perempuan pezina haram hukumnya hingga ia bertaubat. Baik yang menikahi itu lelaki yang menzinahinya atau bukan."

Ulama juga terbelah dalam syarat tobat ini. Ulama dari kalangan Mazhab Hambali, Abu Qatadah termasuk Ibnu Taimiyah mensyaratkan wajibnya bertobat. Sementara ulama Mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanafi tidak mewajibkan tobat.

Selain itu, juga ada perbedaan terkait bolehnya menikahi wanita hamil di luar nikah tanpa menunggu masa idah. Imam Syafi'i dan Hanafi membolehkan akad nikah sebelum wanita itu melahirkan.

Namun, keduanya berbeda pendapat tentang diperbolehkannya dipergauli setelah akad. Imam Syafi'i membolehkan wanita tersebut dipergauli setelah akad, baik laki-laki yang menikahinya adalah yang menghamilinya atau bukan.

Sementara Imam Abu Hanifah hanya memperbolehkan wanita itu dipergauli jika yang menikahinya adalah yang menzinahinya. Jika bukan, lelaki tersebut boleh melangsungkan akad namun menunggu wanita tersebut melahirkan untuk mempergaulinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement