Sabtu 23 Feb 2019 06:10 WIB

Haji Agus Salim dan Sang Paman, Syekh Ahmad Khatib (2)

Agus Salim bersyukur berguru ke Tanah Suci, tiba di Tanah Air dirikan sekolah

(ilustrasi) Haji Agus Salim saat muda
Foto: tangkapan layar google image
(ilustrasi) Haji Agus Salim saat muda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam budaya Minang, ada kearifan lokal yang tersirat dalam pepatah-petitih, “Anak dipangku kamanakan dibimbiang/Orang kampuang dipartenggangkan.”

Maknanya, seorang laki-laki Minang yang telah berkeluarga bertanggung jawab tidak hanya membesarkan anak-anaknya sendiri, tetapi juga membimbing adik-adik serta kemenakan-kemenakannya. Dengan sistem itu, harapannya di dalam masyarakat tumbuh tenggang rasa.

Baca Juga

Inilah yang berlaku pula bagi Haji Agus Salim selaku keponakan terhadap pamannya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (lahir 1855). Nama yang tersebut akhir itu adalah imam besar Masjidil Haram. Dia juga mengajar di Tanah Suci.

Ada cara tersendiri yang diterima Agus Salim dari pamannya itu. Bila para murid lainnya dari sang paman menerima “begitu saja” pengajaran, Agus Salim lebih sering terlibat dalam tukar pikiran dengan guru sekaligus pamannya itu.

Tidak jarang, Agus melontarkan kritik, yang poin-poinnya banyak mengutip khazanah keilmuan Barat. Cara-cara diskusi itulah yang sesuai dengan metode ala Syekh Ahmad Khatib. Ulama besar ini amat menyukai suasana dialog dalam mengajarkan ilmu-ilmu.

Sebagai contoh, walau sebagai ahli fiqih (baca: tradisionalis), Syekh al-Minangkabawi bersikap terbuka pada gagasan-gagasan modernisme Islam. Bahkan, sejak awal menuntut ilmu di Tanah Suci, dia sudah membaca banyak karya seputar pemikiran Rasyid Ridha (wafat 1935), Jamaluddin al-Afghani (wafat 1897), dan Muhammad Abduh (wafat 1905). Ketiga nama itu dikenang sebagai pengibar ide modernisme Islam ke penjuru dunia.

Oleh karena itu, Syekh Ahmad Khatib mengimbau para muridnya untuk membaca juga karya-karya cendekiawan Muslim modernis. Respons yang muncul boleh jadi berbeda satu sama lain.

Ambil contoh, antara KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’arie. Keduanya adalah termasuk murid Syekh Ahmad Khatib. Mereka juga sama-sama membaca risalah karya al-Afghani, Abduh, dan Rasyid Ridha. Hasilnya, beda satu sama lain. Kiai Ahmad Dahlan--asal dari Yogyakarta--tertarik pada ide-ide modernisme Islam, sedangkan yang dari Jombang tidak begitu tertarik menerapkannya.

 

Menjadi Intelektual Muslim yang Teguh

Selama belajar dengan pamannya, Agus Salim mengaku amat puas. Rasa-rasanya, “ketertinggalan” mendalami Islam sewaktu remaja terbayarkan dengan berguru pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Imannya semakin kuat. Tidak lagi dipertengtangkannya antara kemajuan dan keislaman. Lima tahun lamanya (1906-1911) tinggal di Arab. Lima kali pula menunaikan ibadah haji.

Kelak dalam sebuah artikel yang muncul dalam koran Bendera Islam tertanggal 2 Mei 1927, Agus Salim mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukurnya atas keputusannya berhijrah ke Tanah Suci, alih-alih Belanda sehabis lulus HBS.

“[…] Semasa itu, keislamanku seolah-olah bawaan kebangsaan saja dan bukanlah menjadi agama keyakinan yang bersungguh-sungguh. Tetapi selama lima tahun di Saudi Arabia, saya lima kali naik haji dan bertambah dalam sikap saya terhadap agama, daripada (yang pada mulanya –Red) tidak percaya menjadi syak dan daripada syak menjadi yakin mengakui keadaan Allah dan agama Allah.

 

Ikuti Saran Syekh al-Minangkabawi: Mendirikan Sekolah

Pada 1911, Haji Agus Salim kembali ke Pulau Jawa. Kira-kira satu tahun lamanya, cendekiawan yang pandai bertutur tujuh bahasa asing itu lantas menjadi pegawai negeri di Batavia (Jakarta).

Namun, pria 27 tahun ini menyadari betul ketertinggalan bangsa Pribumi. Penindasan yang mereka alami menggetarkan perasaannya.

Dia pun bertekad untuk ikut bergerak membangkitkan kesadaran mereka, terutama dari kalangan generasi muda, agar melawan pembodohan dan penghinaan yang dijalankan ratusan tahun lamanya oleh kolonialisme.

Pada 1912, Haji Agus Salim memakai kesempatannya pulang kampung untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak Pribumi. Di tempat kelahirannya, Koto Gadang, dia berhasil mewujudkan HIS swasta (kini SDN 08 Koto Gadang, Kabupaten Agam).

Tiga tahun lamanya dia mengasuh lembaga tersebut agar sesuai dengan visinya: mencerdaskan kehidupan bangsa, minimal lingkungan Minangkabau.

Kegigihannya untuk menghadirkan HIS partikelir itu didasari ketidapuasannya pada sistem pendidikan yang di bawah kendali Belanda. Padahal, urusan mendidik anak-anak Pribumi harus melalui kaum cendekiawan Pribumi pula.

Patut diduga, masa-masa belajarnya di Arab Saudi turut memengaruhi pemikirannya, sehingga sampai pada kesimpulan mendirikan sekolah. Seperti diketahui, Syekh Ahmad Khatib kerap mengimbau para muridnya agar sesampainya di daerah asal masing-masing hendaknya mendirikan lembaga pendidikan islami.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement