Jumat 22 Feb 2019 06:41 WIB

Rasyid Ridha, Sang Penyala Api Modernisme Islam (3)

Rasyid Ridha sejak remaja sudah mengagumi al-Afghani dan Abduh, para penganjur modern

(ilustrasi) risalah al-Manar dari Syekh Rasyid Ridha
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
(ilustrasi) risalah al-Manar dari Syekh Rasyid Ridha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kini, usia Rasyid Ridha sudah menapaki remaja. Rasa ingin tahunya kian besar terhadap dinamika dunia, yang sedang berderap ke arah modern. Salah satu cirinya, diseminasi industri cetak.

Rasyid Ridha gemar membaca surat-surat kabar berbahasa Arab, semisal al-’Urwah al-Wusqa yang susunan redaksinya dipimpin Jamaluddin al-Afghani (wafat 1897) dan Muhammad Abduh (wafat 1905).

Baca Juga

Terbitan itu berpusat di Paris, Prancis. Itulah kota tempat tinggal sementara kedua tokoh pembaru Islam tersebut selama diasingkan penguasa asalnya.

Rasyid Ridha begitu mengagumi gagasan-gagasan dan keberanian al-Afghani dan Abduh. Dia bahkan ingin agar kelak dapat belajar langsung kepada kedua sosok tersebut.

Beruntung, Rasyid Ridha dapat bertemu dengan Muhammad Abduh di Beirut, Lebanon. Adapun Jamaluddin al-Afghani sudah lebih dahulu wafat di Istanbul, Turki. Di ibukota Lebanon itu, Abduh sedang menjalani masa pembuangan.

Pertemuannya dengan sosok penulis yang dikaguminya itu semakin meneguhkan semangat Rasyid Ridha untuk ikut membangkitkan kesadaran kolektif umat Islam.

Sejak saat itu, dia pun menjadi murid Muhammad Abduh yang paling utama, meski tidak selalu seiring pendapat antara keduanya. Rasyid Ridha juga kelak menulis biografi dan artikel-artikel yang membela pandangan Muhammad Abduh.

Begitu habis masa pembuangan di Beirut, Muhammad Abduh kembali ke Mesir untuk berdakwah dan mengajar. Kali ini, Rasyid Ridha mengikutinya pada 1898. Selang beberapa waktu kemudian, Rasyid Ridha mengusulkan kepada gurunya itu agar menerbitkan sebuah majalah sebagai media persebaran gagasan-gagasan kemajuan Islam.

Abduh pun menyetujuinya. Rasyid Ridha menamakan majalah itu  Al-Manar yang secara harfiah berarti ‘mercusuar’. Dalam edisi perdananya tahun 1898, redaksi Al-Manar menegaskan ideologi terbitan ini sejalan dengan al-’Urwah al-Wusqa, yakni menjernihkan ajaran Islam agar tidak tercemar dari paham-paham yang menyimpang, semisal sekulerisme, fatalisme, dan takhayul-takhayul.

Sampai ajal menjemputnya, Rasyid Ridha tetap mengasuh Al-Manar dan menyumbangkan artikel-artikel karyanya di sana. Dalam masanya, majalah ini begitu berpengaruh bagi perkembangan pemikiran kaum intelektual Muslim lintas bangsa, termasuk Indonesia.

Baca juga: Rasyid Ridha, Sang Penyala Api Modernisme Islam (4)

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement