Senin 18 Feb 2019 15:37 WIB

Syekh Yusuf al-Makassari, Dakwah di Nusantara dan Afsel (1)

Ulama kharismatik ini lahir di Sulawesi Selatan, pada 3 Juli 1626

(ilustrasi) gambar Syekh Yusuf al-Makassari
Foto: tangkapan layar google images
(ilustrasi) gambar Syekh Yusuf al-Makassari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada abad ke-17, sejarah mencatat pelbagai perjuangan yang digerakkan tokoh-tokoh Muslim untuk melawan penjajahan Barat di Nusantara. Di antara mereka, terdapat nama Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari.

Ulama kharismatik ini lahir di Moncong, Loe, Gowa, Sulawesi Selatan, pada 3 Juli 1626. Nama kecilnya, Muhammad Yusuf. Mengutip Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, ibundanya merupakan keturunan raja Gowa. Adapun ayahandanya berasal dari kalangan petani biasa yang taat beragama.

Baca Juga

Makassar saat itu menjadi bagian penting dari Kesultanan Gowa. Islam tidak hanya diakui sebagai agama resmi. Penguasa setempat bahkan ikut menyokong perkembangan dakwah di wilayahnya.

Istana mendukung penuh dan melindungi alim ulama dalam menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Sekolah-sekolah tradisional keagamaan didirikan di pelosok negeri. Dalam situasi seperti itu, keluarga Muhammad Yusuf membesarkan anak-anaknya.

Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007) menjelaskan, Yusuf mengawali pendidikan agamanya dengan belajar membaca Alquran pada Daeng ri Tasammang, yang jug aktif berdakwah di istana Gowa. Selanjutnya, ilmu fiqih, tata bahasa Arab, dan tasawuf dipelajarinya dari Sayyid Ba ‘Alwi bin ‘Abdullah di pesantren Bontoala. Gurunya yang lain bernama Syekh Jalaluddin al-Aidid di majelis Cikoang.

Putuhena menyebut, dua guru yang disebut akhir itu termasuk generasi kedua perintis dakwah Islam di Sulawesi Selatan. Generasi pertamanya diwakili tiga tokoh asal Minangkabau, yakni Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk di Tiro.

Sewaktu remaja, Muhammad Yusuf terbilang unggul di antara rekan-rekan sebayanya. Dia sudah menghafal Alquran 30 juz serta sejumlah hadits sahih.

Saat berusia 18 tahun, pemuda ini hijrah dari kampung halamannya ke Banten untuk memperluas pengalaman dan memperdalam keilmuannya. Daerah di Jawa tersebut kala itu merupakan daerah pelabuhan yang kosmopolitan. Peran Kesultanan Banten sendiri begitu strategis dalam menghubungkan rute perdagangan internasional yang melalui Nusantara. Sama halnya dengan Aceh yang terletak di ujung Sumatra.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement