Senin 18 Feb 2019 06:03 WIB

Mustafa Sabri, Syaikhul Islam Terakhir Ustmaniyyah (2)

Dia masih terus berkarya bahkan ketika berada jauh dari Tanah Air

Mustafa Sabri Effendi
Foto: tangkapan layar google
Mustafa Sabri Effendi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di dewan perwakilan rakyat Turki pada masa itu, Mustafa Sabri Effendi dikenal sebagai orator yang ulung. Dia merupakan politikus dari Partai Kebebasan dan Persatuan. Lawan politiknya terutama berasal dari Partai Komite Persatuan dan Kemajuan (CUP).

Akibat aksi demonstrasi yang dilancarkan simpatisan Partai Hunchak pada 30 September 1895 di Istanbul, semua pendukung Partai Kebebasan dan Persatuan menjadi incaran.

Mustafa Sabri pun mesti keluar dari Istanbul. Dia hijrah sementara menuju Mesir, kemudian Rumania, dalam periode 1913-1918.

Dengan usainya Perang Dunia I, maka kondisi di dalam negerinya mulai berangsur-angsur kondusif. Dia pun pulang ke Tanah Air.

Pada 1919, Mustafa Sabri menjadi anggota Senat untuk masa jabatan seumur hidup. Awal tahun berikutnya, dia terpilih menjadi syekh al-Islam Kesultanan Utsmaniyah.

Akan tetapi, jabatan ini hanya diembannya selama delapan bulan plus 21 hari karena pada akhirnya dia mengundurkan diri. Penyebabnya, ketidaksukaan beberapa kementerian terhadap kebijakan-kebijakannya.

Dalam skala yang lebih luas, merebaknya kaum nasionalis-sekuler di tubuh elite Turki memang kerap menyingkirkan orang-orang yang masih ingin mempertahankan otoritas kesultanan atas dasar Islam. Termasuk di antara mereka yang tersisih ini adalah Mustafa Sabri Effendi.

 

Ketika Kesultanan Runtuh

Sejak November 1922, dia hijrah ke Iskandariah, Mesir, bersama sejumlah koleganya. Pada 1923, Kesultanan Utsmaniyah runtuh. Mustafa Kemal Ataturk kemudian naik sebagai presiden Republik Turki.

Sejak masa kekuasaan Ataturk, simbol-simbol Islam mulai dilarang beredar di ranah publik Turki. Aksara Arab diganti dengan Latin. Pakaian Muslimah dikecam. Bahkan, suara azan pun dilarang disiarkan dalam bahasa Arab dari menara-menara masjid.

Mustafa Sabri Effendi menetap di Mesir hingga akhir hayatnya kelak pada 1954. Dari negeri ini, dia menulis banyak karya, terutama yang berkaitan dengan bantahan terhadap sistem sekulerisme.

Ulama itu selalu mengharapkan bangkitnya kembali kejayaan Islam di Bumi Usmaniyah. Di antara karya-karyanya adalah Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘Alim min Rabb al-‘Alamin wa Ibadihi’l-Mursalin, yang terdiri atas empat jilid.

Menurut Ibrahim Kalin dalam The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy, topik utama pemikiran Mustafa Sabri berkisar pdaa persoalan, bagaimana memahami tradisi keislaman tanpa kompromi terhadap prinsip-prinsip agama.

Syaikhul Islam era Utsmaniyyah itu dengan tegas menentang sekulerisme Barat. Dalam setiap uraiannya, Mustafa Sabri mengingatkan pembaca akan pentingnya menyadari kekuasaan Allah atas segala sesuatu.

Inilah salah satu alasannya mengkritik karya A Mahmud al-‘Aqqad tentang sejarah Nabi Muhammad SAW. Untuk diketahui, menurut biografer tersebut, Rasulullah SAW merupakan sosok yang “genius” tetapi, demikian Mustafa Sabri, semestinya pujian itu lebih terarah pada fakta bahwa sosok Nabi Muhammad SAW itu memang utusan Allah.

Dengan kata lain, Mustafa Sabri memandang perspektif sekuler cenderung mengabaikan sisi kesakralan suatu peristiwa atau ajaran agama Islam. Meskipun demikian, keteguhannya tidak sampai ekstrem umpamanya dalam bidang politik. Dia menerima nilai-nilai demokrasi, seperti kedaulatan hukum, kebebasan, atau persamaan.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement