Kamis 14 Feb 2019 14:13 WIB

A Hassan: Guru Pak Natsir, Kawan Debat Bung Karno (4)

Hassan-Natsir: hubungan egaliter antara guru dan murid

Perangko dengan gambar Mohammad Natsir tahun 2011
Foto: tangkapan layar wikipedia.org
Perangko dengan gambar Mohammad Natsir tahun 2011

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengisahkan tentang A Hassan tidak lengkap bila tidak menyertakan salah satu muridnya yang paling cemerlang, Mohammad Natsir. Pada waktu Hassan mulai menetap di Bandung (Jawa Barat), Natsir masih muda.

Begitu lulus dari MULO (setingkat SMP), pria asal Minangkabau itu hijrah ke Bandung untuk meneruskan belajar di AMS. Sejak masih di tanah kelahirannya, Natsir dia sudah aktif di Perhimpunan Pemuda Islam (Jong Islamieten Bond/JIB).

Baca Juga

Begitu pindah ke Jawa, dia akhirnya terpilih sebagai wakil ketua JIB Cabang Bandung. JIB sendiri diinisiasi Haji Agus Salim pada 1925. Melalui organisasi itu, Natsir bersahabat dengan banyak aktivis Muslim, semisal Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan Kasman Singodimedjo. Persahabatan yang langgeng hingga usia senja.

Natsir muda awalnya bercita-cita menjadi sarjana hukum. Namun, visinya itu berubah sejak dia tertarik mendalami lagi agama Islam, sebagaimana dahulu ketika masa anak-anak. Ketertarikan itu terutama disebabkan hobinya berdiskusi dengan A Hassan hampir setiap sore.

photo
Peserta mengikuti acara Seminar Nasional, Mosi Integral M. Natsir

 

Perkenalannya dengan sang guru yang juga tokoh Persis itu bermula sejak dia diajak seorang kawannya yang keturunan India, Fakhruddin al-Khairi. Di luar kelas, al-Khairi menjabat ketua JIB Bandung.

Walaupun terpaut usia 20 tahun, Natsir dan Hassan memiliki banyak kesamaan pandangan, terutama mengenai modernisme Islam dan anti-penjajahan. Seperti dituliskan Audrey R Kahin dalam Islam, Nationalism and Democracy: A Political Biography of Mohammad Natsir, Natsir amat terkesan dengan sosok Ahmad Hassan.

Pria kelahiran Alahan Panjang, Solok, Sumatra Barat, itu mengenang, Hassan selalu meninggalkan kesibukannya dengan pekerjaan ketika dirinya dan al-Khairi datang berkunjung. Padahal, saat itu mereka bukanlah pejabat atau pembesar—“hanya” anak-anak muda yang haus ilmu-ilmu agama.

Diskusi di antara keduanya meliputi rupa-rupa topik, mulai dari Islam hingga politik, termasuk pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan. Bagi Natsir, demikian Kahin mengutip, Hassan merupakan cendekiawan yang lugas dan berprinsip teguh. “(Hassan) adalah seorang intelektual yang orisinil—berani dalam mengemukakan gagasan dan pendapatnya.”

Sementara itu, Ajip Rosidi mengutip kekaguman lainnya. Natsir mengingat Tuan Hassan sebagai penulis yang piawai. Tulisan-tulisannya tentang agama sangat terkenal dan besar pengaruhnya kepada perkembangan Islam modernis. Gaya penulisannya selalu bernas dan ditunjang hujah yang meyakinkan.

Baca juga: A Hassan: Guru Pak Natsir, Kawan Debat Bung Karno (3)

Cara Hassan mendidik anak-anak muda cukup unik karena mengutamakan dialog dan diskusi, alih-alih menceramahi. Dia sadar bahwa mereka yang ada di hadapannya saat ini merupakan calon pemimpin di masa depan. Bila para pemimpin jauh dari agama, bagaimana pula masa depan umat Islam?

Perhatian besar diarahkannya pada remaja Muslim yang belajar di sekolah-sekolah formal bentukan Belanda. Jangan sampai mereka tercerabut dari agamanya sendiri atau hanyut dalam sekularisme.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement