Senin 11 Feb 2019 19:23 WIB

Mengenal Fuat Sezgin, Ilmuwan yang Dikagumi Erdogan

Fuat Sezgin merekam sejarah peradaban Islam melalui karya-karyanya

Prof Fuat Sezgin
Foto: tangkapan layar youtube
sezgin

Sejak memeroleh penghargaan bergengsi itu, Fuat Sezgin semakin leluasa melanjutkan riset sejarah kebudayaan Islam, terutama di negara-negara petrodolar Asia Barat. Pada 1982, peraih bintang Order of Merit Republik Federasi Jerman itu mendirikan Institut Sejarah Sains Arab Islam. Melalui lembaga itu, dia ikut menjembatani antara peradaban Islam dan Barat.

Bangunan institut itu masih satu kompleks dengan Goethe University Frankfurt. Sampai hari ini, museum yang terdapat di sana menyajikan koleksi legasi para saintis Muslim yang begitu lengkap, bahkan sejak era klasik.

Di dalamnya, ada lebih dari 800 buah replika instrumen yang biasa dipakai para ilmuwan Muslim pada Era Keemasan. Di antaranya adalah alat-alat navigasi pelayaran, lensa-lensa optik, dan sebuah globe yang menggambarkan peta dunia dari zaman Sultan al-Ma’mun awal abad kesembilan. Keakuratan peta tersebut tidak jauh berbeda daripada bola-dunia modern. Pada 2008, museum dengan koleksi serupa juga dibuka di Istanbul, Turki. 

Sejak 1984, kesibukannya di ranah akademis kian bertambah dengan menjadi editor Journal for the History of Arabic-Islamic Science. Sementara, Sezgin juga menerima berbagai macam penghargaan dari banyak negara, sebagai bentuk pengakuan atas kepakarannya.

Pemerintah Turki, misalnya, mengganjar putra nasional itu dengan medali kehormatan dalam bidang budaya dan kesenian. Namanya tercatat sebagai anggota pada sejumlah lembaga asosiasi ilmuwan di negara-negara Muslim. Sebut saja, Akademi Sains Turki, Akademi Kerajaan Maroko, serta Akademi Bahasa Arab di Kairo (Mesir), Damaskus (Suriah), dan Baghdad (Irak).

 

Menyebarkan Kesadaran Sejarah

Dalam pelbagai kesempatan, Fuat Sezgin kerap mengingatkan publik tentang peran besar intelektual Muslim di sepanjang sejarah. Menurutnya, para intelektual Arab-Islam tidak sekadar mengadopsi kebudayaan Yunani, tetapi juga menghasilkan corak kebudayaan baru serta peradaban tersendiri.

Akhirnya, produk budaya Islam mencerahkan masyarakat Eropa. Maka muncul Renaisans sekitar abad ke-14 hingga abad ke-17. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila tradisi saintifik Eropa modern, secara prinsipil, tidak berbeda dengan tradisi keilmuan Islam yang telah dibina ratusan tahun sebelumnya.

Ada satu pernyataan Sezgin yang sering dikutip sejumlah diplomat atau politikus, termasuk Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan. Menurutnya, para pelaut Muslim telah lebih dahulu mencapai Benua Amerika jauh sebelum ekspedisi Christopher Columbus (1420). Untuk membuktikannya, Sezgin menunjukkan inskripsi peta yang ada. Argumen lainnya, perkembangan teknologi navigasi Eropa Barat pada permulaan abad ke-15 masih sangat tertinggal daripada peradaban Islam. Maka dari itu, wajar bila daya jangkau para pelaut Muslim di Samudra Atlantik pada masa itu jauh lebih unggul.

Sosok Sezgin masyhur sebagai ilmuwan yang pantang menyerah untuk mengakses sumber-sumber sejarah yang otentik. Penulis buku Natural Sciences of Islam (lima jilid) itu bahkan pernah menyambangi pelbagai perpustakaan kuno di Eropa dan Asia Barat.

Pada 1968, dia menemukan empat buah buku karya Diophantus yang berjudul Arithmetica saat sedang menjelajahi situs-situs kuno di Mashad, Iran Utara. Diophantus –sering digelari ‘Bapak Aljabar’— merupakan ahli matematika dari Iskandariah (Mesir) yang hidup pada akhir abad ketiga sebelum Masehi (SM).

Kegigihan Sezgin membanggakan rakyat dan negara Turki. Tanah airnya itu menghargai jerih payahnya selaku sejarawan Muslim. Atas jasa-jasanya, pada 24 September 2012 wali kota Ankara Melih Gökçek mengubah nama sebuah alun-alun di ibu kota Turki itu menjadi "Taman Fuat Sezgin."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement