Senin 11 Feb 2019 14:24 WIB

Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Ulama Pejuang dari Minang

Namanya diusulkan sebagai penerima gelar pahlawan nasional.

Rep: Hasanul Rizqa/Sapto Andika Candra/ Red: Hasanul Rizqa
Syekh Sulaiman ar-Rasuli
Foto: DPD Perti Sumbar
Syekh Sulaiman ar-Rasuli

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara alim ulama legendaris dari Ranah Minangkabau adalah Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Sosok yang kerap disebut sebagai Inyiak Canduang itu lahir pada 1871 di Candung (kini kecamatan di Agam, Sumatra Barat). Ayahnya, Angku Muhammad Rasul, merupakan seorang ahli agama Islam.

Adapun ibundanya bernama Siti Buli’ah. Dia hidup sezaman dengan beberapa mubaligh kenamaan. Sebut saja, Haji Abdul Latif Syakur, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Latif Pahambatan, Syekh Abbas Abdullah, dan Syekh Ibrahim Musa. Dalam konteks yang lebih luas, ulama yang seangkatan dengannya—terutama ketika berada di Tanah Suci—antara lain KH Hasyim Asy’arie dan Syekh Hasan Maksum.

Pendidikan dasar diperolehnya pertama-tama dari keluarga. Menurut sejarawan Nopriyasman (2018), guru-guru yang mengajarkan agama Islam kepada Sulaiman kecil antara lain Syekh Muhammad Arsyad (Batu Hampar), Tuanku Sami’ Ilmiah (Baso), Tuanku Kolok (Batusangkar), Syekh Abdussalam (Banuhampu), dan Syekh Abdullah (Halaban). Bertahun-tahun lamanya dia belajar ke berbagai guru agama di Candung dan sekitarnya.

Pada 1903, Sulaiman pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan itu juga dimanfaatkannya untuk menuntut ilmu selama di Tanah Suci. Di antara guru-gurunya adalah mufti mazhab Syafii Syekh Muhammad Sa’id Ba Bashil, Syekh Utsman as-Sarawaki, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani, Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Sayyid Ahmad Syattha al-Makki, Syekh Mukhtar ‘Atharid as-Shufi, dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Adapun bidang-bidang yang digelutinya adalah ilmu alat (nahwu, sharaf, balaghah, dst), ilmu hadits, ilmu tafsir Alquran, mantiq, fiqih, tasawuf, dan tauhid. Rihlah keilmuan itu dijalaninya selama tiga setengah tahun.

Pada 1907, Syekh Sulaiman ar-Rasuli kembali ke Tanah Air. Dia pun mengamalkan ilmu-ilmu yang telah diperolehnya sampai sejauh ini kepada masyarakat setempat, terutama melalui surau. Surau merupakan lembaga pendidikan tradisional di Sumatra Barat. Secara fisik, sebuah surau biasanya berbentuk masjid kecil yang berbahan dasar kayu dan beratap ijuk. Di Candung, Angku Muhammad Rasul sebelumnya telah mendirikan Surau Tengah. Adapun surau yang didirikan Syekh Sulaiman dinamakan sebagai Surau Baru. Sejak saat itu, dia kerap disapa “Inyiak Canduang”. Sebutan inyiak merupakan bentuk penghormatan, sebagaimana kiai haji dalam tradisi Jawa. Sementara, Canduang merujuk pada lokasi surau tempat sang syekh mengajar.

photo
Syekh Sulaiman ar-Rasuli (sumber: wikipedia)

Nopriyasman menerangkan, Syekh Sulaiman berjasa dalam mereformasi sistem pendidikan di Sumatra Barat. Dia mengubah metode halaqah menjadi model jenjang kelas, yang biasa dijumpai pada sekolah-sekolah modern saat ini. Pada 1917, dia dipercaya sebagai kepala kadi untuk membenahi berbagai kebijakan yang dijalankan para kadi sebelumnya, misalnya, tentang pernikahan, talak, dan rujuk. Satu tahun kemudian, dia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) dan menjadi ketua cabang Baso, Agam.

Masih dalam bidang pendidikan, Syekh Sulaiman bersama dengan sejumlah ulama Kaum Tua di Candung mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Menyusul MTI Candung itu, yang merupakan MTI tertua di Sumatra Barat, maka berdirilah berturut-turut MTI di Jaho yang dikelola oleh Syekh Muhammad Jamil Jaho dan MTI Tabek Gadang Payakumbuh yang diasuh Syekh Abdul Wahid Shaleh. Ketiga MTI tersebut kelak disebut sebagai tiga serangkai, dan menjadi inspirasi bagi lahirnya berbagai MTI di seluruh Indonesia.

Untuk diketahui, pada permulaan abad ke-20 di Minangkabau terjadi perseteruan pendapat antara Kaum Muda dan Kaum Tua. Golongan yang pertama menghendaki ijtihad dan mengarusutamakan pembaharuan agama, sedangkan golongan yang kedua ingin mempertahankan tradisi. Syekh Sulaiman ar-Rasuli cenderung pada Kaum Tua. Pada 1928, dia bersama dengan dua orang sahabatnya—Syekh Abbas Ladang Lawas dan Syekh Muhammad Jamil Jaho—mendirikan at-Tarbiyah. Lembaga itu dimaksudkan sebagai organisasi yang memayungi sekolah-sekolah agama di Sumatra Barat yang berafiliasi dengan Kaum Tua. Sebab, pada masa itu Kaum Muda juga mulai bergeliat dengan mendirikan berbagai lembaga pendidikan, semisal madrasah diniyah atau Sekolah Thawalib. Belakangan, tepatnya pada 1930, at-Tarbiyah menjelma menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Perti pun pada 1946 pecah menjadi dua, yakni yang sejalan di jalur sosial-pendidikan dan di jalur politik (menjadi sebuah partai politik). Menurut Nopriyasman, Syekh Sulaiman memandang sedih perpecahan itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement