Selasa 12 Feb 2019 06:30 WIB

Syekh Hamzah Fansuri, Bapak Bahasa dan Sastra Melayu

Prof Abdul Hadi WM menggelarinya Bapak Bahasa dan Sastra Melayu

hamzah fansuri
Foto:
sumber: Harakah Islamiyah

Besarnya kiprah Syekh Hamzah Fansuri membuat Prof Abdul Hadi WM menggelarinya “Bapak Bahasa dan Sastra Melayu.” (Cakrawala Budaya Islam, 2016: 193). Sebutan itu boleh jadi tidak berlebihan. Sebab, ulama-sufi itulah yang pertama kali menulis karangan ilmiah dalam bahasa Melayu.

Di antara karya-karya Hamzah Fansuri yang telah dijumpai adalah tiga risalah tasawuf dan 33 ikat-ikatan syair. Setiap ikatan itu terdiri atas 13, 15, atau 19 bait syair. Abdul Hadi meneruskan, naskah yang memuat ikatan-ikatan syair cendekiawan tersebut paling banyak dari Manuskrip Jakarta (MS Jak.Mal.No.83).

Yang patut disayangkan adalah, teks naskah itu sudah mengalami kerusakan, sehingga hanya sepertiganya atau 31 ikat-ikatan syair yang dapat dibaca. Selebihnya, sekira 50 ikat-ikatan tidak dapat dibaca lagi. Adapun tiga risalah tasawuf syekh tersebut telah ditransliterasikan, yakni Syarab al-‘Asyiqin (Minuman Orang-orang Berahi), Asrar al-‘Arifin (Rahasia Ahli Makrifat), dan Al-Muntahi.

Pakar sastra Indonesia Prof A Teeuw dalam Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1994) mendaulat Syekh Hamzah Fansuri sebagai  “Sang Pemula Puisi Indonesia.” Tentu saja, Indonesia yang dibayangkannya tidak hanya sebatas negara yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Teeuw hendak mengetengahkan, di dalam sajak-sajak Hamzah Fansuri sudah terdapat ciri-ciri kesusastraan modern. Artinya, sang salik mempelopori suatu gebrakan kesusastraan di Nusantara--jauh sebelum kolonialisme Barat datang.

Karangan Hamzah Fansuri dipengaruhi model puisi Arab dan Persia, khususnya gaya puitika mistik Ibnu al-‘Arabi. Muridnya, Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, menyebut puisi Hamzah Fansuri sebagai ruba’i. Sebutan itu, terang Teeuw, merujuk pada genre puisi Persia yang kanonnya antara lain rubayyat Umar Khayyam. Memang, ada banyak petunjuk yang menunjukkan besarnya pengaruh sufistik Persia di dalam karya-karya Hamzah Fansuri.

Sebut saja, penggunaan tamsil “laut” –yang biasa dipakai Ibnu al-‘Arabi atau Jalaluddin Rumi—atau tamsil “burung” yang jelas terinspirasi dari Fariduddin Attar, sang penggubah Musyawarah Burung (Mantiq ut-Tayr).Bagaimanapun, ada persamaan dan perbedaannya.

Baik ruba’i Persia maupun syair-syair sastrawan Melayu itu terdiri atas empat larik. Perbedaannya, skema rima ruba’i umumnya adalah a-a-b-a, sedangkan puisi Hamzah Fansuri memakai skema a-a-a-a.

Lebih lanjut, Teeuw menemukan adanya ciri-ciri modernitas dalam karya Hamzah Fansuri, semisal Syair XXIII yang dikutip Drewes. Pertama, soal individualitas. Puisi Hamzah Fansuri tidak anonim seperti umumnya terjadi pada karya-karya sastra Melayu Lama. Anonimitas biasanya sebagai cara pengarang merendahkan diri di hadapan sidang pembaca. Pengarang tidak menganggap diri sebagai tokoh, melainkan sebagai wakil masyarakat kesastraan sehingga merasa tidak perlu disebut atau diingat namanya. Sementara, Hamzah Fansuri dengan terang mengemukakan dirinya sebagai pengarang syair-syairnya. Tidak hanya di kolofon (catatan pada akhir teks naskah), tetapi bahkan di dalam kandungan sajak-sajaknya sendiri.

Kedua, soal inovasi. Hamzah Fansuri tidak sekadar mengambil alih model sastra sufi Persia dalam menciptakan syair Melayu. Dia juga melakukan penyesuaian model tadi dengan keistimewaan bahasa dan tradisi sastra Melayu. Pada akhirnya, hal itu memunculkan pembaruan.

Ketiga, Hamzah Fansuri sangat piawai menyertakan kata-kata atau istilah dari bahasa asing—utamanya Arab dan Persia. Dua bahasa itu biasa menjadi medium dakwah Islam di Nusantara. Dengan menyerap kata-kata bahasa itu, Hamzah Fansuri memperkaya khazanah bahasa Melayu.

Tidak sekadar menyerap. Seperti ditegaskan Drewes, syair-syair Hamzah Fansuri seringkali mengutip dari ayat-ayat Alquran. Hal itu tidak hanya meningkatkan mutu sastra, tetapi juga menunjukkan kecanggihan sang pengarang dalam berbahasa atau mengomunikasikan ajaran Islam.

Sebagai contoh, empat bait dari Syair XIII. “Huwa ‘l-awwalu wa ‘l-akhiru akan namanya/Wa ‘l-zahiru wa ‘l-batinu rupanya (QS. 57: 3)/Sidang ‘arif mendapat katanya/Mabuk dan gila barang adanya// Wama ramayta dengarkan firman/Aku baginda rasul habib al-Mannan/Walakinna ‘llahu rama tiada insan (QS. 8:17)/Nasihat al-‘arifin di sini ‘iyan// Sabda ‘Ali yang mahatahu/La a’budu rabban lam arahu/Wama ra’aytu syay’an, lama dan baharu/Illa ra ‘aytu ‘llaha fihi aku// Wa ‘llahu khalaqakum dengarkan kata/ Wama ta’maluna inilah nyata (QS. 37:96)/ Bikulli sya’in muhitun di mata-mata (QS. 41: 54)/Kalam al-‘asyiqin sedikit pun pada.”

sumber : Islam DIgest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement