Ahad 10 Feb 2019 17:00 WIB

Arti Khatam

Secara harfiah adalah cincin materai

Sejumlah anak yatim mengikuti acara khatam Al-Quran bersama anak yatim di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Selasa (4/12).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah anak yatim mengikuti acara khatam Al-Quran bersama anak yatim di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Selasa (4/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Khatam arti harfiahnya adalah cincin meterai. Kata ini mempunyai pengertian bermacam-macam yang inti kandungan pengertiannya berkaitan erat dengan keabsahan surat-surat. Khatam dalam arti cincin meterai adalah salah satu  atribut raja yang merupakan tanda kebesaran dan kemegahan. Raja membubuhkan khatam itu pada surat-surat.

Khatam juga berarti akhir. Maksudnya, tulisan yang telah diberi khatam itu benar dan sah atau penulisan surat sudah benar dan lengkap dengan diberinya khatam.

Khatam juga berarti wazir (setingkat perdana menteri). Hal ini dapat dilihat dari ucapan Harun Al Rasyid ketika hendak mengangkat Ja'far bin Yahya menjadi wazir menggantikan Al-Fadal. ''Wahai ayahku, aku bermaksud memindahkan khatam dari tangan kananku ke tangan kiriku.'' Dikiaskannya, wazir dengan khatam disebabkan pekerjaan memberi khatam adalah salah satu tugas wazir.

Penggunaan khatam pernah dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW. Diceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW hendak mengirim surat ajakan masuk Islam kepada penguasa-penguasa lain. Kepada Nabi SAW dikatakan bahwa raja-raja non-Arab ('ajam) hanya mau menerima surat-surat yang diberi khatam.

Maka, Nabi Muhammad SAW membuat cincin stempel dari bahan perak berukirkan 'Muhammad Rasulullah'. Penggunaan cincin khatam ini  diteruskan pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan.

Ketika ada di tangah Usman, khatam itu jatuh ke dalam sumur. Segera Usman membuat khatam baru yang menyerupainya.

Setiap orang yang memangku jabatan khalifah memiliki khatam. Pada khatam tidak diukirkan nama-nama khalifah, akan tetapi diukirkan kata-kata hikmah atau slogan. Pada khatam Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali bin Abi Thalib, misalnya, masing-masing diukirkan kata-kata Ni'mah Al Qadir Allahu (Yang Maha Kuasa Yang paling baik adalah Allah), Kafaa bil mauti wa'idzhan yaa Umaru (Cukuplah kematian menjadi peringatan bagimu), Latasbiranna au latandamanna (Engkau bersabar atau menyesal), dan al Mulku lillahi (Kekuasaan hanya bagi Allah).

Khalifah pertama yang memperkenalkan khatam pada surat-surat ialah Mu'awiyah bin Abu Sofyan. Ia juga memperkenalkan pendirian diwan (dewan) yang tugasnya mengurus surat lamaran kerja, menyiarkannya, menyetempel, membungkus dengan kain, membalut dengan lilin, dan kemudian memberikan cap di atasnya. Diwan ini disebut Diwan Al Khatim (Lembaga khatam).

Tujuan didirikannya diwan ini adalah untuk menghindarkan pemalsuan, seperti kasus pemalsuan yang dilakukan Umar bin Zubair yang terjadi pada masa Mu'awiyah. Ia mengirim surat kepada Ziyad bin Abihi, seorang pejabat Kufah. Dalam suratnya dikatakan agar Ziyad memberikan uang sebanyak seratus ribu dirham.

Umar bin Zubair ditugaskan membawa surat yang tidak diberi khatam itu mengubah angka tersebut menjadi 200 ribu dirham sebelum ia menyerahkan surat itu kepada Ziyad. Kemudian Ziyad memberikan uang sebanyak 200 ribu dirham kepada Umar. Ketika Ziyad menghadap Mu'awiyah dan memberikan laporan, Mu'awiyah tidak mengakui jumlah 200 ribu itu. Akhirnya terungkaplah kasus pemalsuan itu.

Umar bin Zubair diperintahkan untuk mengembalikan uang 100 ribu dirham. Sejak itu Mu'awiyah mendirikan Diwan Al Khatim (Lembaga Khatam).  Ziyad bin Abihi seperti dituturkan oleh Al-Baladari, sejarawan Arab terkemuka,  adalah orang Arab pertama yang menerapkan Diwan Al Khatim di wilayah Irak, mengikuti orang-orang Persia (Iran). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement