Senin 10 Dec 2018 19:02 WIB

Begini Tuntunan Islam untuk Istri dalam Mengelola Keuangan

Pembelanjaan yang dilakukan istri hendaknya berdasarkan skala prioritas.

Rep: Zahratul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
Seorang petugas teller menghitung mata uang rupiah.    (ilustrasi)
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
Seorang petugas teller menghitung mata uang rupiah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Konsepsi pengelolaan keuangan dalam Islam berdiri di atas prinsip keseimbangan, tepat guna, dan transparansi. Pada dasarnya kewajiban menafkahi memang berada di pundak suami, namun bantuan yang diberikan seorang istri juga diperbolehkan. 

Bahkan bantuan itu akan bernilai kebajikan bagi sang istri. Hal ini ditunjukkan perilaku Khadijah RA yang ikut andil membantu mencukupi kebutuhan keluarga Nabi sebagai bentuk ukhuwah dan tolong menolong dalam kebajikan.

Untuk pengeluaran atau pembelanjaan, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi muslimah selaku pengurus keuangan keluarga. Di antara kewajiban yang ada, sebagai seorang anak wajib memberi nafkah bagi orang tuanya yang sudah lanjut usia sebagai bentuk berbuat baik kepada mereka yang sudah merawat dan membesarkan. 

Dalam hadis riwayat ad-Dailami, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Kedua orang tua itu boleh makan dari harta anaknya secara ma’ruf (baik) dan anak tidak boleh memakan harta kedua orang tuanya tanpa seizin mereka."

Menurut Ibnu Taimiyah, seorang anak yang kaya wajib menafkahi bapak, ibu dan saudara-saudaranya yang masih kecil. Jika tidak melaksanakan kewajiban tersebut, sang anak dianggap durhaka terhadap orang tuanya dan berarti telah memutuskan hubungan kekerabatan. 

Selain itu, suami dan istri harus percaya bahwa memberi nafkah kepada kedua orang tua adalah suatu kewajiban seperti halnya membayar utang kedua orang tua yang bersifat mengikat dan bukan sekadar suka rela. Hal itu tidak sama dengan memberikan sedekah kepada kerabat yang membutuhkan yang sifatnya kebajikan.

Dalam mengatur pengeluaran, hendaknya seorang istri bisa hemat dan ekonomis. Rasulullah pernah bersabda, "Tidak akan jatuh miskin orang yang berhemat." Pun ia harus realistis dalam menerima apa yang dimiliki. Orang yang masuk Islam dianggap beruntung karena diberi rezeki yang cukup dan menerima apapun yang Allah berikan.

Keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pun harus diperhatikan. Istri tidak boleh membebani suami dengan beban kebutuhan dana di luar kemampuannya. Hal ini sesuai dengan pemahaman QS al-Baqarah ayat 286. 

Seorang istri, ia harus dapat mengatur pengeluaran rumah tangganya seefisien mungkin menurut skala prioritas sesuai dengan penghasilan dan pendapatan suami, tidak boros, dan konsumtif.

Abu Bakar bahkan pernah berkata: "Aku membenci penghuni rumah tangga yang membelanjakan atau menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari saja."

Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik, pun menganjurkan agar hasil usaha dikeluarkan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat. 

Keluarga Muslim dalam mengelola pembelanjaan harus berprinsip pada pola konsumsi islami yaitu berorientasi kepada kebutuhan (need) dan manfaat (utility), sehingga hanya akan belanja apa yang dibutuhkan dan hanya akan membutuhkan apa yang bermanfaat.

Berhubungan dengan prinsip pengelolaan di atas, maka sebagai seorang istri harus memiliki skala prioritas pengeluaran. Harus tahu mana yang dibutuhkan atau sekadar ingin. Islam mengajarkan agar pengeluaran rumah tangga Muslim lebih mengutamakan pembelian kebutuhan-kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement