Selasa 04 Dec 2018 17:07 WIB

Perebutan Kekuasaan Berdarah di Lingkungan Istana Ottoman

Perebutan tampuk kepemimpinan melibatkan sesama anggota keluarga istana.

Istana Topkapi
Foto: muhammad subarkah
Istana Topkapi

REPUBLIKA.CO.ID, Perang antarsesama Muslim juga terjadi pada masa Kesultanan Ottoman (1299-1923 M). Selama enam abad lebih dinasti itu menguasai peradaban Islam, suksesi atau pergantian generasi kepemimpinan tidak jarang diwarnai konflik dan pertumpahan darah.

Pada era pemerintahan Sultan Sulaiman I al-Qanuni, perebutan kekuasaan melibatkan keluarga istana sendiri. Pangeran Mustafa, putra tertua Sulaiman I dari selirnya yang bernama Mahidevran, dibunuh karena dituduh berusaha melakukan kudeta terhadap ayahnya.

Peristiwa tragis itu terjadi pada 1553. Ketika itu, Sultan Sulaiman I tengah berada di Eregli dalam rangka ekspedisi Ottoman di Persia. Wazir Agung (Perdana Menteri) Rustem Pasha lalu menawarkan Mustafa supaya bergabung dengan tentara ayahnya.

Mustafa menerima tawaran tersebut, dan segera memerintahkan pasukannya untuk bergabung dengan tentara Sulaiman I.

Sementara, pada saat yang sama, Rustem Pasha malah mengatakan kepada Sulaiman I bahwa Mustafa akan datang untuk membunuh sang sultan. Sulaiman I memercayai informasi tersebut, sehingga ia pun tega menghabisi nyawa anaknya sendiri.

“Sulaiman memanggil Mustafa ke biliknya, dan segera mengeksekusinya,” tulis sejarawan Colin Imber dalam bukunya, The Ottoman Empire, 1300-1650: The Structure of Power.

Konflik berdarah juga melanda anak-anak Sulaiman I lainnya, yakni antara Salim II dan Pangeran Bayazid. Pada 1558, Salim meminta kepada ayahnya sejumlah meriam dan kapal di Izmir sebagai pertahanan jika Bayazid tiba-tiba menyerang. Permintaan tersebut disetujui oleh Sulaiman I.

Tidak sampai di situ saja, Sulaiman I juga memberi dukungan kepada Salim II untuk menghabisi Bayazid jika di kemudian hari sang pangeran melakukan pemberontakan. Insiden itu pun terjadilah. Bayazid akhirnya melancarkan perlawanan terhadap sultan. Salim II pun ditugaskan untuk menumpas pemberontakan tersebut.

Pasukan Salim II dan Bayazid bertemu di Konya pada Mei 1559. Bagi Salim II, tidak ada pilihan lagi selain menghabisi saudara kandungnya tersebut. Setelah perang selama dua hari, pasukan Salim berhasil memperoleh kemenangan. Pada waktu itu, Bayazid dapat menyelamatkan nyawanya dan kemudian lari ke Amasya.

Namun, pada 1561, Bayazid bersama keempat anak laki-lakinya akhirnya dieksekusi oleh orang suruhan Salim II bernama Ali Agha. Pada saat yang sama, Sulaiman I juga memerintahkan eksekusi terhadap anak kelima Bayazid bersama istrinya di Bursa.

“Dengan dibunuhnya Bayazid, maka Salim II tampil sebagai satu-satunya pewaris tahta kerajaan pada 1562,” tutur Imber.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement