Selasa 31 Jul 2018 18:42 WIB

Melawan Stigma Islamisasi di Jerman

JIK gencar menggelar konferensi yang memertemukan anak muda Muslim dengan non-Muslim.

Rep: Fernan Rahadi/ Red: Yusuf Assidiq
Para aktivis penggerak Young Islam Conference (JIK) berfoto bersama para intelektual muda Indonesia yang mengikuti program Life of Muslims in Germany 2018 di Berlin, Jerman, Kamis (19/6).
Foto: Republika/Fernan Rahadi
Para aktivis penggerak Young Islam Conference (JIK) berfoto bersama para intelektual muda Indonesia yang mengikuti program Life of Muslims in Germany 2018 di Berlin, Jerman, Kamis (19/6).

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Dalam beberapa dekade terakhir, terminologi diskursus publik di Jerman banyak mengalami perubahan. Setelah sejak tahun 50-an hingga 70-an, masyarakat Jerman banyak berdebat mengenai guest worker (pekerja asing), kini mereka banyak berdebat mengenai Muslim.

"Banyak orang Jerman menganggap Muslim sebagai entitas yang homogen. Padahal Muslim adalah sebuah kelompok yang beragam dari segi bangsa, etnis, aliran, sosial status, dan lain sebagainya," kata Project Manager Young Islam Conference (JIK), Tarek Muendelein, di Berlin, Rabu (18/7).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan JIK, sikap anti-Muslim kini merupakan hal yang lumrah terjadi dalam masyarakat Eropa pada umumnya. "Di Jerman, mayoritas masyarakat melihat Islam sebagai ancaman, antidemokrasi, intoleran, dan tidak cocok dengan masyarakat Barat," kata Muendelin.

Di media-media Jerman, potret Muslim pun sama buruknya. "Muslim selalu digambarkan sebagai agama yang tidak mau berintegrasi dengan masyarakat serta berisiko terhadap keamanan sebuah negara. Ini tentunya adalah imej yang salah tentang Islam," ujarnya.

Hal ini kemudian diperparah dengan narasi-narasi yang kerap disuarakan kelompok-kelompok gerakan populis sayap kanan bahwa Islamisasi sedang terjadi di Jerman. "Padahal tidak ada Islamisasi di sini. Jumlah Muslim hanya empat juta, sehingga kecil kemungkinannya untuk mengislamkan seluruh Jerman," ujar Muendelin menegaskan.

Untuk melawan berbagai stigmatisasi dan prasangka tersebut, Muendelin dan rekan-rekannya di JIK gencar menyelenggarakan konferensi yang mempertemukan anak-anak muda Muslim dengan anak-anak muda non-Muslim di Jerman. "Fokus dialog tidak pada aspek religiositas atau teologi dalam Islam, melainkan pada aspek sosial dan politik," ujarnya.

Anak-anak muda dipilih karena berdasarkan penelitian mereka lebih menerima keberagaman agama lebih ketimbang orang dewasa. "Contohnya, hanya 45 persen orang dewasa yang setuju terhadap pemakaian hijab di Jerman. Sedangkan anak-anak muda yang setuju sebesar 70 persen," kata Muendelin.

Pakar Islam di Jerman, Susanne Kaiser, beranggapan bahwa anak-anak muda Islam di Jerman selama ini kurang terepresentasikan dengan asosiasi-asosiasi Islam yang telah berdiri. Organisasi-organisasi Islam yang ada diyakini hanya merepresentasikan sebesar 20 persen dari total populasi penduduk Muslim yang ada. "Padahal representasi sangat penting bagi anak-anak muda" ujarnya.

Selain konferensi yang diadakan JIK, Pemerintah Jerman, lewat Kementerian Dalam Negeri Jerman, juga telah menginisiasi German Islam Conference (DIK) untuk menjembatani gap antara pemerintah dengan komunitas-komunitas Muslim.

"Tujuan konferensi ini adalah mengintegrasikan Islam sehingga berada di dalam payung hukum komunitas religius. Selain itu juga untuk mengangkat partisipasi sosial para Muslim," tulis Kementerian Dalam Negeri Jerman dalam siaran persnya.

Meskipun demikian, konferensi ini bukan merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap agama. "Ini juga bukan forum dialog antaragama dan bukan forum yang bisa memecahkan persoalan-persoalan terkait legalitas," tulis pernyataan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement