Kamis 26 Apr 2018 02:01 WIB

Menjamurnya Perpustakaan di Masa Kejayaan Islam

Ada sejumlah klasifikasi perpustakaan yang berkembang pada masa itu.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Seif Islam yang merupakan penjaga perpustakaan kuno di Kota Chingguetti, Mauritania
Foto: Micha? Huniewicz/Amusing Planet
Seif Islam yang merupakan penjaga perpustakaan kuno di Kota Chingguetti, Mauritania

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prof Raghib as-Sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia(2009)sampai-sampai berpendapat, tidak ada yang satu masyarakat pun di atas kaum Muslimin dalam hal kecintaan terhadap buku dan perhatian terhadap perpustakaan.

Lebih lanjut, menurutnya, dunia literasi pada zaman modern sekarang merupakan hasil perkembangan yang telah dirintis umat Islam sebelumnya. Para sultan Muslim di masa lampau telah menghadirkan pelbagai macam perpustakaan di Asia, Eropa, dan Afrika, yang pada akhirnya menginspirasi bangsa-bangsa non-Muslim.

As-Sirjani membuat klasifikasi tentang perpustakaan dalam konteks peradaban Islam. Pertama, perpustakaan akademi. Sepemahamannya, jenis inilah yang paling masyhur. Contohnya adalah Baytul Hikmah di Baghdad.

Sifat akademis tampak dari fungsi perpustakaan ini yang tidak sekadar mengoleksi beragam buku-buku atau artefak-artefak berharga, tetapi juga pusat studi dan aktivitas penerjemahan yang dilakukan para sarjana dari beragam bangsa, baik Muslim maupun non-Muslim.Perpustakaan akademi dapat dianggap sebagai bukti keberpihakan penguasa Muslim setempat terhadap dunia literasi.

Kedua, perpustakaan khusus. Jenis ini lebih bersifat swasta, alih-alih publik. As- Sir jani menjelaskan, di era kejayaan Islam, banyak ilmuwan Muslim yang memiliki perpustakaan dengan koleksi yang berlimpah.

Tidak sedikit pula tokoh-tokoh Muslim yang meyakini derajat sosialnya terangkat bilamana mendirikan perpustakaan besar.Di antara mereka adalah Khalifah al-Muntashir dari Dinasti Abbasiyah, al-Fatah bin Khaqan, Ibnu al-Amid, dan Abu Matraf.

Meskipun hanya berkuasa enam bulan lamanya, Khalifah al-Muntashir merupakan pemimpin populer di tengah rakyat.Dukungannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan begitu besar, termasuk dengan mendirikan perpustakaan.

Selanjutnya, Ibnu Khaqan dikenal sebagai politikus ulung dan juga pencinta ilmu pengetahuan. Mantan gubernur Mesir dan Suriah pada zaman Abbasiyah itu memiliki perpustakaan megah di pusat kota Samarra (Irak).

Sementara itu, Ibnu al-Amid merupakan pakar tata kota dari Persia. Sosok yang wafat pada 970 itu mendirikan perpustakaan besar di Ray yang pengelolanya antara lain adalah filsuf Ibnu Miskawaih. Adapun Abu Matraf mempunyai perpustakaan pribadi di Andalusia dengan banyak koleksi langka pada zamannya.

Ketiga, perpustakaan umum. Ini merupakan kebalikan dari jenis yang kedua.Dengan sokongan pemerintah setempat, perpustakaan umum di zaman keemasan Islam berdiri untuk melayani masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam hal ini, umat Islam meletakkan dasar-dasar manajemen perpustakaan modern.

Sebagai contoh, Perpustakaan Kordoba yang berdiri sejak tahun 961 di Andalusia.As-Sirjani menuturkan, di sana negara mempekerjakan sejumlah pegawai sesuai spesialisasinya. Ada yang bertugas memelihara buku-buku, mengumpulkan naskah- naskah, atau menentukan kapasitas rak dan penggolongan genre. Dengan demikian, publik dapat mengakses semua koleksi yang terdapat di dalamnya dengan mudah.

Keempat, perpustakaan sekolah. As-Sirjani menerangkan, di negeri-negeri Islam semua sekolah dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan. Sultan Nuruddin Mahmud dari Dinasti Zengid, misalnya, membangun 42 unit madrasah di Suriah. Setengah dari jumlah tersebut bahkan didanai dari uang nya sendiri.

Pembangunan madrasah-madrasah itu seiring dengan penguatan jaringan perpustakaan. Contoh lainnya adalah seorang menteri Sultan Shalahuddin, al-Fadilah. Di Kairo, Mesir, dia menyumbang 200 ribu buku untuk penyelenggaraan perpustakaan yang terintegrasi dengan madrasah.

Kelima, perpustakaan yang tumbuh dari masjid-universitas. Untuk diketahui, universitas pertama di dunia adalah Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, yang berdiri sejak tahun 859. Sejarah Al-Qarawiyyin bermula dari sebuah masjid dan perpustakaan yang didirikan Fatimah al-Fihri. Setelah menerima warisan dari ayahnya, seorang pedagang sukses, dia berinisiatif mengukuhkan masjid sebagai pusat kegiatan keilmuan masyarakat.

Perempuan ini pun mengundang para sarjana terkemuka dari penjuru negeri ke Fez untuk mengajar. Selanjutnya, perpustakaan Al-Qarawiyyin dilengkapinya dengan buku-buku koleksi pribadi. Belakangan, tiap sultan penguasa Fez terus menyokong warisan keluarga Al-Fihri itu sehingga tumbuh besar. Langkah-langkah yang ditempuh Al-Qarawiyyin belakangan ditiru pelbagai lembaga pendidikan Islam dan Eropa Kristen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement