Rabu 04 Apr 2018 15:42 WIB

Sistem Perpajakan dalam Islam

Pajak merupakan salah satu pendapatan di masa Rasulullah.

Penghasilan tak kena pajak (ilustrasi)
Foto: reesolarpanelsbristol.org.uk
Penghasilan tak kena pajak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem perpajakan dalam Islam sudah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW. Saat Rasulullah menjalankan roda pemerintahan, pendapatan negara diperoleh dari lima sumber, yaitu harta rampasan perang (ghanimah), harta kekayaan yang diambil dari musuh tanpa melakukan peperangan (fai), zakat, pajak tanah (kharraj), dan pajak kepala (jizyah). Kecuali dua sumber pertama, yang lainnya merupakan sumber penghasilan tahunan.

Sedangkan pada masa sekarang, umumnya penerimaan negara hanya diperoleh dari pajak dan zakat. Namun, tidak semua negara di dunia memasukkan zakat dalam instrumen penerimaan di kas negara. Sementara itu, untuk sumber pendapatan berupa ghanimah dan fai tidak lagi diterapkan.

Penerimaan dari zakat ini hanya dibebankan kepada penduduk Muslim, selain merupakan kewajiban dalam ajaran Islam. Para penduduk dari kalangan Muslim pun juga dikenakan beban pajak. Sementara itu, terhadap penduduk non-Muslim, Rasulullah selaku kepala negara dan pemerintahan hanya menerapkan sistem pungutan pajak berupa jizyah dan kharraj.

Seiring dengan makin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, membuat jumlah muzakki (para pembayar zakat) mengalami peningkatan. Meski banyak orang yang ingin membayar zakat kepada Rasulullah SAW secara sukarela, namun ini bukanlah metode yang memadai untuk mengumpulkan zakat. Karena itu, sekitar tahun ke-9 Hijriyah, Rasulullah mengangkat sejumlah orang untuk menghimpun zakat dari berbagai suku.

Dalam Ensiklopedi Muhammad sebagai Negarawan disebutkan, para petugas (amil zakat) berkeliling negeri untuk mengumpulkan zakat dari masing-masing suku, lalu membawanya ke hadapan Rasulullah. Para amil zakat di zaman Rasulullah ini tidak hanya ditugasi untuk mengumpulkan zakat, tetapi juga mengumpulkan jizyah dan kharraj. Biasanya, pemimpin suku diangkat sebagai kolektor zakat (amil) untuk anggota sukunya. Tetapi, pengangkatan ini kebanyakan bersifat temporer.

Mekanisme penerapan dan pemberlakuan pajak yang diterapkan oleh Rasulullah SAW ini, kemudian diteruskan di masa kepemimpinan Al-Khulafa ar-Rasyidun. Jika pada masa Rasulullah dan Khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq, sistem pembayaran pajak belum dilakukan secara tersistematis, maka tidak demikian halnya di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Umar mulai mengatur dan menertibkan sistem pembayaran pajak, terutama kharraj.

Sistem pembayaran kharraj yang telah diterapkan oleh Umar ini di masa kepemimpinan Ustman bin Affan tidak berjalan dengan baik. Penyebabnya adalah karena ia menerapkan pembedaan perlakuan terhadap tanah yang dimiliki oleh penduduk yang masih terhitung sanak keluarganya dan tanah yang dimiliki oleh mereka yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan Usman. Namun, pada masa Ustman inilah mulai dibentuk departemen jawatan pajak.

Baru setelah Ali bin Abi Thalib menduduki jabatan khalifah, para gubernur yang pernah diangkat oleh Usman dipecatnya. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan di masa pemerintahan Umar.

Masa Umayyah dan Abbasiyah

Dalam buku Ensiklopedi Tematis Dunia Islam disebutkan, pada saat Umar bin Abdul Aziz (khalifah ke-8 Dinasti Umayyah, red) memerintah, ia melakukan pembersihan di kalangan keluarga Bani Umayyah. Tanah-tanah atau harta lain yang pernah diberikan kepada orang tertentu dimasukannya ke dalam baitulmal. Ia juga menerapkan kebijakan di bidang fiskal yang mendorong orang non-Muslim memeluk agama Islam.

Kebijakan fiskal tersebut yakni dengan mengurangi besaran pajak yang dipungut dari orang Nasrani. Sementara jizyah yang masih dipungut dari orang yang telah masuk Islam di antara mereka dihentikan. Dengan demikian mereka berbondong-bondong masuk Islam.

Sementara di masa Dinasti Abbasiyah, diterapkan sistem sentralisasi kekuasaan, terutama dalam masalah administrasi keuangan dan perpajakan. Ini adalah salah satu yang membedakannya dari kekuasaan Umayyah. Implikasi dari sentralisasi ini ialah adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk memastikan bahwa provinsi memberikan sumbangan yang memadai untuk mendukung pemerintahan pusat.

Melalui sistem sentralisasi ini, pemerintah menyediakan anggaran khusus yang diperoleh dari hasil pajak dan zakat. Anggaran khusus ini digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan. Oleh sejumlah khalifah, anggaran ini dibelanjakan untuk mengembangkan dan memperluas tanah negara sebagai salah satu sumber penting bagi keuangan negara. Cara pengelolaan uang negara seperti ini memiliki dampak positif. Ini terlihat sepeninggal Khalifah al-Mansur dan Khalifah Harun ar-Rasyid negara telah memiliki sumber keuangan yang lebih dari cukup.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement