Jumat 09 Feb 2018 16:01 WIB

Busana di Dunia Islam

Busana mencerminkan identitas, selera dan relegiositas.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Busana Muslim
Foto: Prayogi/Republika
Busana Muslim

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- John L Esoposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern mengatakan, arti dan makna busana di dunia Islam mengejewantah ke berbagai dimensi hidup. Busana mencerminkan identitas, selera, pendapatan, pola perdagangan regional, dan relegiositas pemakainya.

Busana dan pemakaiannya bervariasi menurut jenis kelamin, usia, status perkawinan, asal geografis, pekerjaan, bahkan aliran politik. Pergeseran modernitas menempatkan aspek Islam dan non-Islam pada tradisi berbusana Islam. Busana tradisional dirancang agar sesuai dengan iklim dan pembagian antara tempat publik dan tempat pribadi.

Pakaian panjang yang menggantung longgar sudah dikenakan selama berabad-abad tidak hanya karena alasan sederhana dan sopan yang memungkinkan pemakainya membungkuk, duduk, dan berjalan dengan leluasa. Namun, juga karena lebih nyaman dalam cuaca panas dan kering bila dibandingkan dengan pakian ketat.

Jenis pakaian seperti ini melindungi kulit dari sengatan matahari dan menjaga kelembapan tubuh. Sedangkan, tutup kepala melindunginya dari debu. Busana suku Berber berupa pakaian wol hangat yang diperlukan di daerah pegunungan, seperti mantel tanpa lengan dan rok wanita Aid Mglid, Zaian, Ait Izdeg, dan pembalut kaki rajutan untuk pria Ounergi.

Jenisnya busana Muslimah tradisional juga bervariasi. Demikian pula, kualitas dan perhiasan yang menyertainya. Modelnya pun sangat beragam. Seperti, qufthan dari Arab Saudi Selatan, busana tradisional urban Muslim dari Maroko, busana Badui dari Sinai Utara, model busana Palestina, kores berdekorasi dari Delta Mesir, dan tsaub dari Arab Saudi Timur berdekorasi rumit pada sifon. Model lengannya pun bervariasi, dari yang panjang dan longgar hingga yang pendek atau tirus, dan dapat diikat di bagian belakang untuk memudahkan pekerjaan di rumah.

Pakaian tradisional dan busana Muslim modern, menuntut wanita menutup rambut dan lehernya. Pada busana tradisional ada kain tipis penutup wajah, seperti chadur di Iran, atau penutup wajah khusus burqa, seperti yang dipakai wanita Badui di Mesir dan wanita pedesaan serta perkotaan di kawasaan Teluk. Secara historis, busana Muslim mendapat dukungan kuat dari surah al-Ahzab ayat 59.

Ketika praktik pemingitan wanita dan sistem harem berakhir pada abad-abad tertentu, wanita kelas atas dan menengah perkotaan mulai tampil di depan publik tanpa tutup muka dan mengenakan mantel dan topi bergaya Barat. Perdagangan dan migrasi memengaruhi perubahan bahan, teknik, harga, dan mode busana tradisional.

Bordir mesin untuk baju pesta wanita di kawasan Teluk dan busana lainnya kini dibuat di India. Arti kesopanan pun bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Demikian pula dengan busana sopan sehingga dalam beberapa hal, orang mengadopsi pakaian baru tanpa memperhatikan asal atau implikasinya.

Transisi busana tradisional ke busana modern dalam beberapa hal dianjurkan oleh negara, yang menuntut bentuk busana bergaya Barat bagi pegawai negeri dan siswa sekolah umum atau mahasiswa. Yakni, celana dan jaket menggantikan jubah atau topi atas (kerudung).

Namun, justru ini mengilhami sebagian negara untuk berinovasi dan mengombinasi kedua jenis kutub busana itu, yakni modern dan tradisional. Itu seperti yang terjadi di Libia. Transisi tersebut juga tidak berlaku secara menyeluruh. Di sejumlah negara, negara tidak intervensi terkait dengan transisi busana. Hal tersebut seperti yang berlangsung di Teluk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement