Kamis 11 Jan 2018 16:00 WIB

Pembantaian yang Terorganisasi

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Jembatan Mostar Bosnia, saksi bisu pembantaian Muslim Bosnia.
Foto: Dok. Ahmad Muharrom
Jembatan Mostar Bosnia, saksi bisu pembantaian Muslim Bosnia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembantaian Srebrenica sesungguh nya begitu terencana. Sejak 17 Juni 1995, Mladic diketahui telah bertemu dengan jenderal Republik Serbia, Momilo Perii, di Belgrade. Keduanya membahas rencana penyerbuan atas Srebrenica.

Ada pula rencana menambah jumlah tentara hingga 10 ribu personel ke Bosnia timur. Tiga ribu personel di antaranya berbendera Republik Serbia. Pada awal Juli 1995, truktruk militer dan tank-tank Republik Serbia memasuki Bosnia timur.

Mereka mem ba wa bensin, amunisi, dan senjata api. Demikian laporan NSA Amerika Serikat yang dikutip Cetenich dalam tesisnya untuk San Francisco State University (2002).

Pada awal Oktober 1995, gencatan senjata akhirnya disepakati. AS mengirim du ta besarnya ke kota-kota pusat republik pe cahan Yugoslavia untuk menjajaki ne gosiasi damai. Pada 1-21 November 1995, perundingan berlangsung di Dayton, Ohio, AS. Hadir dalam momentum ber sejarah ini, antara lain, presiden Bosnia-Herze govina Alija Izetbegovic, presiden Kroasia Franjo Tu man, dan presiden Republik Ser bia Slobodan Miloevi .

Pada 14 De sember 1995, ketiga tokoh tersebut mera tifikasi perjanjian damai di Paris, Prancis. Selama empat tahun konflik berdarah di Bosnia-Herzegovina, tidak kurang dari 100 ribu warga sipil tewas. Lebih dari 2 juta jiwa kehilangan tempat tinggal. Mayoritas korban merupakan kaum Muslim Bosnia.

Dari segi hukum internasional, tragedi ini tentunya menyisakan masalah. Sebagai catatan, Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Pecahan Yugoslavia (ICTY) sesungguhnya sudah dimulai de ngan Resolusi 827 PBB pada 25 Mei 1993. Artinya, pembantaian Srebrenica, umpa manya, terjadi ketika ICTY di The Hague, Belanda, sedang mengusut kejahatan Perang Bosnia secara keseluruhan.

Sejak Oktober 1992, PBB diketahui telah membentuk komisi yang menyelidiki adanya kejahatan terhadap kemanusiaan di republik- republik pecahan Yugoslavia. Hasilnya berupa Laporan Bassiouni (Prof Cherif Bassiouni merupakan kepala komisi tersebut).

Di dalamnya, ditegaskan adanya genosida berupa pembersihan etnis yang dilakukan pihak militer Serbia dan Kroasia di Bosnia-Herzegovina. Pihak Serbia melakukannya dengan dukungan Republik Serbia, sedangkan pihak Kroasia ditaja Republik Kroasia.

Baik Serbia maupun Kroasia terbukti telah melakukan pembersihan etnis atas kaum Muslim Bosnia. Di samping itu, ada pula bukti-bukti pihak Kroasia memban tai etnis Serbia di wilayah Krajina dan sebagian Slavonia. Masih menurut lapor an yang sama, pemerintah Bosnia-Herze govina pun terbukti melakukan pelang garan berat atas Serbia dan Kroasia tetapi tidak sampai tahap pembersihan etnis.

Sasaran kebiadaban bukan hanya kaum pria, melainkan juga perempuan Muslim Bosnia. Dalam bukunya, Rape Warfare (1996), Beverly Allen menghim pun rekaman bukti-bukti adanya pemerkosaan massal oleh militer Serbia sejak pecahnya konflik di Bosnia- Herzegovina pada 1990. Allen menemukan tiga metode kejahatan bengis ini.

Pertama, desa kor ban diserbu dan kaum perempuannya diperkosa di depan umum. Kedua, pemer kosaan terjadi secara acak atas perem puan Muslim Bosnia di barak konsentrasi milik Serbia.

Ketiga, pemerkosaan terjadi secara sistematis atas perempuan Muslim Bosnia, baik dalam kondisi gadis maupun hamil. Biasanya, kasus yang terakhir itu merupakan genosida karena berujung pada pembunuhan di barak konsentrasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement