Kamis 11 Jan 2018 14:45 WIB

Muslim Bosnia di Era Yugoslavia

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Pasukan Jerman menginvasi Yugoslavia pada 1941.
Foto: Wikipedia
Pasukan Jerman menginvasi Yugoslavia pada 1941.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang Dunia I berakhir pada 11 November 1918 dengan menyerahnya elemen kunci Blok Sentral, Imperium Jerman. Turki Utsmaniyah termasuk kelompok ini sehingga menanggung konsekuensi kekalahan. Kekuasaan kesultanan di Semenanjung Balkan pun merosot drastis. Hanya berselang satu bulan kemudian, kerajaan Serbia, Kroasia, dan Slovenia (selanjutnya disebut Yugoslavia) terbentuk dengan tujuan menyatukan bangsabangsa Slavia. Wilayah Bosnia-Herzegovina termasuk di dalamnya.

Awalnya, umat Islam Bosnia-Herzegovina, utamanya dari kalangan petani, tidak begitu mempersoalkan rezim Raja Yugoslavia Alexander. Namun, kerusuhan sosial mulai pecah sehingga membahayakan diri kolektif mereka. Tentara kerajaan Yugoslavia dianggap kurang responsif untuk melindungi kaum Muslim.

 

Pada faktanya, tidak hanya kaum Muslim. Suku-suku bangsa di Bosnia- Her zegovina enggan bersatu di bawah ben dera kerajaan tersebut. Mereka cende rung pada afiliasi politik masing-masing. Kaum Muslim Bosnia mendirikan Organisasi Muslim Yugoslav (YMO) pimpinan Mehmed Spaho. Kelompok Kroasia-Bosnia mendukung Partai Petani Kroasia dan Partai Komunis Yugoslavia.

Adapun dukungan kelompok Serbia-Bosnia terbagi menjadi dua, yakni untuk Partai Radikal Serbia dan Partai Demokratik Serbia. Kerajaan Yugoslavia dengan susah pa yah meneguhkan stabilitas. Pada 1921, konstitusi baru dicetuskan, meskipun melalui banyak pro-kontra.

Sementara itu, kelompok komunis meren canakan pembunuhan terhadap raja, tetapi hanya dapat menewaskan seorang menteri. Tindakan ini menyebabkan pelarangan eksistensi Partai Komunis Yugoslavia.

Sementara itu, dominasi tuan tanah Muslim dibatasi. Posisi kelompok Kristen yang bertahun-tahun lamanya sebagai petani bayaran hendak dipulihkan. Kerajaan membayar sejumlah uang kepada tuan tanah Muslim sebagai kompen sasi lahan mereka yang dibagi-bagi.

Bagaimanapun, hampir semua pihak tidak puas. Kelompok Kristen merasa lahan yang diterimanya tidak cukup. Kelompok tuan tanah Muslim pun merasa tidak mendapatkan ganti rugi yang adil. Menjelang akhir 1920-an, situasi mencapai titik kulminasi. Krisis legislasi di parlemen terjadi berulang kali. Pada 6 Januari 1929, Raja Alexander menghapus undang-undang dan mengklaim diri sebagai pemimpin absolut.

Meskipun dua tahun kemudian mencabut status ini, sang raja tetap dibenci sejumlah kalangan. Pada Oktober 1934, dia dibunuh saat sedang berkunjung ke Marseilles, Prancis, oleh kelompok nasionalis-ekstrem Kroasia, Ustasa, yang diketahui dekat dengan Hitler.

Alexander digantikan sepupunya, Pavle, yang memerintah dengan pendekatan demokratis. Dia menempatkan Stojadinovic dan kemudian Cvetkovic sebagai perdana menteri. Partai Bosnia Muslim mendukung keduanya. Krisis politik kembali terjadi pada Maret 1941, ketika sejumlah tentara menggulingkan pemerintahan Cvetkovic.

Mereka mendeklarasikan putra Alexander, Peter II, sebagai raja. Sementara itu, dari luar Yugoslavia ancaman Hitler kian nyata. Prahara Perang Dunia II sudah mencapai Semenanjung Balkan. Pada 17 April 1941, Yugoslavia menyerah terhadap Jerman. Hitler kemudian membentuk Negara Kroasia Merdeka yang di dalamnya termasuk Bosnia- Herzegovina.

Pavelic yang juga bekas pimpinan Ustasa menjadi presidennya. Rezim Pavelic meneruskan upaya Nazi untuk membasmi orang-orang Yahudi dan Gipsi, serta memaksa orang Kristen Ortodoks untuk memeluk Katolik. Adapun kaum Muslim setempat diketahui luput dari sasaran Nazi. Sebab, mereka dianggap setara dengan umat Katolik, meskipun dengan label sesat.

Respons datang dari kalangan Serbia yang kemudian membentuk dua kelompok yang kontradiktif, Chetnik dan Partisan. Chetnik mengklaim sebagai representasi kekuasaan Raja Peter II di pengasingan, sedangkan Partisan tidak lain kelompok komunis.

Chetnik lantas berbalik mendukung Jerman dengan harapan komunisme akan terjungkal di Semenanjung Balkan. Sementara itu, pemimpin Partisan, Josip Broz Tito, pada 1930-an dapat menyatukan partai-partai kecil di bawah komandonya. Menjelang 1942, lawan satu-sa tunya kekuasaan Nazi di Yugoslavia adalah Partisan. Tito kerap menggunakan retorika demokrasi dan kesetaraan hak etnis untuk menggalang dukungan.

Karena itu, kelompok Muslim Bosnia cenderung padanya. Pada 6 April 1945, Partisan dapat merebut kembali Sarajevo dari tangan Nazi. Beberapa pekan sesudah itu, Nazi dan Chetnik menyerah kepada Tito, yang akhirnya memimpin Yugoslavia dengan ideologi komunisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement