Jumat 22 Dec 2017 21:45 WIB

Warisan Perbankan Islam

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Dinar
Dinar

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Dalam dinamika bisnis dan ekonomi modern, kehadiran institusi perbankan sangat penting. Dukungan layanan perbankan mampu mempermudah transaksi dagang serta membantu permodalan dunia usaha. Sejatinya, jejak institusi perbankan telah ada sepanjang era kejayaan Islam abad pertengahan.

Jaringan perdagangan yang luas menjadi keunggulan peradaban Islam. Para pedagang Muslim membina sektor perekonomian dengan gemilang. Prestasi ini tidak terlepas dari dukungan institusi keuangan yang kuat dan berada di beberapa wilayah Islam.

Menurut penjelasan SM Imam-ud-Din melalui bukunya A Historical Background of Modern Islamic Banking, warisan perbankan Islam bisa ditelusuri sejak masa awal Islam. Yakni, ketika umat Muslim membentuk bayt al-mal.

Pada awalnya, lembaga itu difungsikan untuk menampung kekayaan negara. Termasuk pula mengumpulkan dana zakat, wakaf, atau pajak, serta menyalurkannya kepada yang berhak. Bayt al-mal berkembang pesat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.

Dilakukan pembenahan bayt al-mal dalam berbagai aspek. Untuk pertama kali bayt al-mal punya tugas tambahan, yakni membayar pensiun. Proposal khalifah untuk membentuk kantor pusat di Madinah, serta mendirikan cabang di sejumlah wilayah Islam, mendapat persetujuan majlis al-shura pada tahun 637.    

'Abd Allah bin al-Arqam ditunjuk sebagai kepala pengelola bayt al-mal. Dia dibantu oleh dua asisten, antara lain 'Abd al-Rahman bin 'Ubayd al-Qarl serta Mu'ayqib. Pejabat keuangan di setiap provinsi berada di bawah gubernur, yang bertanggung jawab langsung kepada khalifah.

Dalam perkembangannya, bayt al-mal dinaikkan statusnya menjadi departemen khusus di bawah sekretariat pusat. Pejabat khusus yang disebut Khazin al-Mal atau Sahib al-Makhazin bertugas menangani bayt al-mal, mulai dari pusat hingga wilayah.

Ahmad Ali, penulis buku al-Tanzimat al-Ijtamd'iyah wal Iqtasadiyat fil Basrah menyatakan, para pegawai bayt al-mal bukan hanya umat Muslim, melainkan pula dari kalangan Nasrani serta Yahudi. Meski begitu, sistem yang diterapkan tetap sesuai kaidah Islam, terutama mengharamkan riba.

Pada era pemerintahan dinasti Umayyah, lembaga bayt al-mal dipertahankan, bahkan lebih dikembangkan dengan hadirnya inovasi-inovasi baru. Ketika itu, dibentuk bayt al-mal al-khas di Damaskus, yang merupakan lembaga keuangan untuk menyimpan gaji, pemasukan, serta kekayaan pribadi pejabat istana. 

Hadirnya momentum revolusi pertanian ataupun geliat perdagangan yang dirintis umat Muslim, menandai era baru bayt al-mal. Diungkapkan SM Imam-Ud-Din, bayt al-mal berperan pula dalam menyalurkan kredit pertanian, sekaligus menjadi lembaga keuangan komersial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement