Jumat 10 Nov 2017 18:30 WIB
Hari Pahlawan

Menelusuri Kisah Kepahlawanan di Betawi

Pelangi nampak terbentang di kampung nelayan Cilincing Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Republika/Darmawan
Pelangi nampak terbentang di kampung nelayan Cilincing Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Masyarakat Betawi patut berbangga. Sebab, jika ditelusuri lebih mendalam, ternyata  mempunyai stok SDM dari masa lalu dan masa kini cukup banyak dan yang layak untuk dijadikan pahlawan di tingkat nasional.

Yang secara resmi telah mendapatkan gelar ini dari pemerintah sampai hari ini ada empat orang, yaitu: Ismail Marzuki, Mohammad Husni Thamrin,  Prof. dr. Sp.F. Marsekal Muda Anumerta Abdulrachman Saleh,  dan KH Noer Alie. Sedangkan yang patut diperhatikan untuk diberikan gelar tersebut masih banyak lagi. Sebut saja, H.Entong Gendut,  Guru Manshur Jembatan Lima dan KH. Mursyidi.

Kisah kepahlawanan H.Entong Gendut di masyarakat Betawi, khususnya di kawasan Condet, seperti yang dikisahkan oleh Alwi Shahab, begitu melegenda. Ia adalah sosok petani sekaligus pendekar. Ia memimpin masyarakat Betawi di Condet untuk memberontak dan melakukan perlawanan kepada VOC. Hal ini dilakukannya karena tidak terima dengan kebijakan dan perbuatan VOC yang meminta penduduk untuk membayar upeti hasil bumi dan tanah garapan para petani Condet. 

 

Sedangkan Guru Manshur Jembatan Lima dikenal dengan kisah pengibaran bendera merah putih di menara Masjid Al-Manshur Jembatan Lima. Ketika Jakarta diduduki NICA 1946, Ia memerintahkan kepada muridnya agar di menara Masjid Al-Manshur dikibarkan bendera merah putih. Setelah bendera berkibar, tentara  NICA yang melihatnya memerintahkan kepada Guru Manshur agar  bendera tersebut diturunkan, namun  Guru Manshur menolaknya.

Adapun KH Mursyidi, ulama Betawi asal Klender, dikenal perjuangannya ketika  pada tahun 1945  aktif di Menteng 31, markas Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan mendirikan Barisan Rakyat (ABRA) di Kampung Bulak, Klender. Dari tahun 1945 sampai tahun 1949, ia terlibat aktif dalam perang mengusir agresi Belanda dan sekutunya.

Saat itu, ia menjadi komandan perjuangan rakyat yang mempunyai kewenangan untuk membentuk pemerintahan di tingkat kecamatan atau kewedanan. Kepahlawanannya dikenal bersama dengan dua rekannya, H. Darip dan KH. Hasbiyallah, sebagai tiga serangkai dari Klender.

Meneladani tokoh-tokoh itu, kini masyarakat Betawi dan Jakarta  lebih membutuhkan pahlawan-pahlawan baru yang dapat membantu mereka untuk lepas dari persoalan hidup, yang dapat mengentaskan mereka dari kemiskinan dan tipisnya iman. Untuk pahlawan jenis ini, sepertinya  Jakarta belum punya.

Disarikan dari Dialog Jumat Republika/Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement