Rabu 01 Nov 2017 21:00 WIB

Mengenal Jong Islamieten Bond

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Pemuda (ilustrasi)
Foto: ugm.ac.id
Pemuda (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1925, berdirilah Jong Islamieten Bond (JIB). Sesuai namanya, organisasi ini diisi para pemuda Muslim yang memantapkan Islam sebagai sandaran identitas.

Beberapa di antaranya merupakan intelektual yang dididik di sekolah-sekolah Belanda. Beberapa lainnya telah memiliki konsen besar terhadap pendidikan Islam sebagai lawan daripada pendidikan formal ala Belanda.

Husni mengutip pernyataan salah seorang anggota JIB, Mohammad Roem, yang mengenang bagaimana Belanda mengonstruksi citra Islam kepada kaum pelajar.

Di sekolah, para murid diajarkan bahasa dan sastra Belanda, Jerman, Prancis, dan Inggris. Bila mana ada (pelajaran) yang menyinggung Islam, mereka tidak memandang agama ini secara apresiatif atau mendalam. Bahkan, kadang dengan sengaja meremehkan Islam.

JIB berdiri pada 1 Januari 1925 di Jakarta. Organisasi ini awalnya konsen pada bi dang sosial dan budaya sekaligus menghindari tema politik praktis. Ang gota nya berasal dari pelbagai perhim punan pemuda kedaerahan, semisal Jong Sumatranen Bond atau Jong Java, yang bersimpati terhadap perkembangan agama Islam.

Dalam kongres perdananya, tercatat tidak kurang dari seribu orang terdaftar sebagai anggota. Cabang-cabang JIB tersebar di Jakarta, Solo, Madiun, Yogyakarta, dan kemudian Bandung berkat jaringan Haji Agus Salim. JIB menerbitkan majalah al-Nur sebagai media perjuangan dan sirkulasi gagasan.

Beberapa nama besar pernah menjadi pimpinan atau anggota JIB, yakni Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Syafruddin Prawiranegara, dan Mohammad Natsir. Mereka lantas mengembangkan JIB dengan terus menjalin komunikasi dan kerja sama dengan ormas-ormas besar Islam, semisal Muhammadiyah dan NU.

Nasionalisme

Pendirian JIB lantas diikuti pem bentukan Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) pada 1929. Organisasi ini masih di bawah naung an Sarekat Islam dengan fungsi untuk menjaring bakat kepe mim pin an sejumlah pemuda Muslim terpilih. Na mun, PMI masih kurang populer daripada JIB.

JIB ternyata tidak mengeksklusi paham nasionalisme. Justru, sejumlah tokoh organisasi ini turut memperkenalkan ideologi tersebut ke Tanah Air. Hal itu dilakukan utamanya oleh tokoh-tokoh Muslim yang kembali dari Negeri Belanda setelah lulus kuliah.

Mereka pun cukup berhasil meyakinkan cabang-cabang JIB untuk menerima gagasan nasionalisme sehingga tidak mesti dipertentangkan dengan persatuan Islam. Hal ini antara lain ditunjang kedekatan pribadi maupun keilmuan para pimpinan JIB dengan tokoh-tokoh Muslim yang nasionalis, semisal Bung Hatta.

Corak nasionalisme yang ditawarkan JIB agaknya seturut dengan gagasan yang berkembang di kalangan pelajar Indonesia sejak tahun 1924-1925 di Negeri Belanda. Inisiatornya adalah para pemuda ter pelajar Indonesia di perantauan, khususnya aktivis Indische Vereeniging (yang kelak menjadi Perhimpunan Indonesia sejak 1925).

Mereka merumuskan nasionalisme begitu berbeda daripada arahan politik etis. Rumusan itu berbunyi bahwa Indonesia merupakan entitas yang terpisah atau dapat berdaulat daripada Kerajaan Belanda. Inilah benih-benih perjuangan kemerdekaan Indonesia modern.

Salah seorang pemimpin Perhimpunan Indonesia adalah Bung Hatta, yang pada 1927 bersama dengan rekan-rekannya yak ni Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, serta Madjid Djojohadi ning rat, ditangkap polisi Belanda atas tuduhan penghasutan. Di hadapan majelis sidang, Hatta membacakan pidato pembelaan ber judul Indonesie Vrij pada Maret 1928.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement