Jumat 06 Oct 2017 20:31 WIB

Jejak Islam di Trinidad dan Tobago

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Agung Sasongko
Muslim di Trinidad and Tobago.
Foto: IST
Muslim di Trinidad and Tobago.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Trinidad dan Tobago boleh jadi bukan nama negara yang terlalu akrab di telinga umat Islam di Indonesia. Negeri kepulauan penghasil minyak ini terletak jauh di kawasan Karibia. Meski bukan agama mayoritas di sana, Islam sejatinya memiliki akar sejarah yang panjang di negara ini.

Pew Research Center mencatat, jumlah Muslim yang mendiami Trinidad dan Tobago pada 2000 mencapai 78 ribu jiwa atau sekira 6,6 persen dari total penduduk. Mayoritas dari mereka bermukim di Pulau Trinidad. Kini, setelah 15 tahun berlalu, populasi umat Islam diperkirakan telah meningkat menjadi 100 ribu jiwa atau sekitar delapan persen dari total penduduk. Catatan tersebut sekaligus menempatkan Islam sebagai agama terbesar ketiga setelah Kristen dan Hindu.

Sejarah mencatat, kaum Muslimin pertama yang menetap di negeri itu adalah para budak kulit hitam dari suku Mandingo atau Mandinka yang berasal dari Afrika Barat. Kelompok etnis utama di Afrika Barat ini secara fisik atau budaya berasal dari Kekaisaran Mali kuno.

Mereka dibawa dari tanah leluhurnya ke Trinidad oleh para penjajah Eropa pada 1740. Selanjutnya, sepanjang 1816-1825, budak Muslim Afrika yang didatangkan ke Trinidad semakin banyak jumlahnya. Sejak 1840-an, imigran Muslim dari Asia Selatan mulai berdatangan ke Trinidad untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan tebu dan kakao milik Pemerintah Kolonial Inggris. Dari tahun ke tahun, jumlah pekerja Muslim itu terus meningkat hingga akhirnya membentuk komunitas tersendiri di negeri itu.

Sebuah laporan yang disusun penulis Omar Hasan Kasule pada 1978 menyebut, budak-budak Muslim asal Afrika Barat itu pertama kali tiba sekitar 1777 untuk menggarap perkebunan teh di Trinidad. Jumlah mereka terus bertambah dan telah mencapai angka 20 ribu orang pada 1802.

Di negeri perantauan ini, kaum Muslim Mandigo terus berusaha menjaga identitas keislamannya. Di bawah pimpinan seorang tokoh bernama Muhammad Beth, mereka juga berusaha lepas dari perbudakan. Sejatinya, mereka senantiasa rindu untuk pulang ke kampung halaman. Akan tetapi, akhirnya mereka terputus hubungan dengan tanah kelahiran dan menetap di Trinidad.

Orang-orang Asia Selatan yang datang belakangan pertama kali tiba pada perayaan ulang tahun Trinidad pada 31 Mei 1845 menggunakan kapal Fatel Razeck yang berlabuh di Port of Spain. Mereka datang bersama dengan buruh lainnya yang beragama Hindu dari Uttar Pradesh, India, dengan jumlah keseluruhan 225 orang.

Hidup sebagai budak bukanlah kondisi yang menyenangkan, melainkan menyengsarakan. Kendati hidup sengsara, para budak Muslim tetap mempertahankan iman Islam mereka. Islam mereka jalankan dengan penuh kesetiaan dan penyerahan diri atas kehendak Allah SWT.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement