Senin 24 Apr 2017 09:03 WIB

Musik di Dunia Islam

Rep: Ferry Kinsihandi/ Red: Agung Sasongko
Remaja Masjid Majelis Silaturahim melakukan penggalangan dana dengan rebana saat hari bebas kendaraan bermotor di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Ahad (6/11).
Foto: Republika/Wihdan
Remaja Masjid Majelis Silaturahim melakukan penggalangan dana dengan rebana saat hari bebas kendaraan bermotor di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Ahad (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di dunia Islam, musik dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang. Musik dinilai sebagai warisan historis dari abad keemasan, seni pertunjukan, cabang ilmu pengetahuan, dan sebagai media ketaatan spiritual. Pandangan tentang musik dipengaruhi oleh keyakinan dan kelembagaan Islam.

Menurut Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, dalam Alquran tidak dijumpai kecaman terhadap musik. Meski demikian, dalam hadis ditemukan banyak pernyataan yang memperingatkan terhadap musik dan alat-alat musik. Ulama kontemporer, Yusuf al-Qaradhawi, juga membahas soal musik ini.

Dalam bukunya, Halal dan Haram dalam Islam, al-Qaradhawi tak mempermasalahkan musik, namun memberikan sejumlah persyaratan, di antaranya bukan mengarah ke kemaksiatan. Dalam sejarah Islam, musik memainkan peran cukup luas dan menjadi seni yang populer.

Berdasarkan catatan sejarah, khususnya dalam kitab Al-Aghani yang ada pada abad ke-10, mengungkapkan, munculnya sejumlah musisi yang ada pada awal masa kekhalifahan, termasuk Sa'ib Khathir, Tuwais, dan Ibnu Mijjah. Penyebaran Islam ke sejumlah wilayah memberi pengaruh tersendiri pada musik.

Misalnya, Islam yang menyebar ke Persia, Turki, dan India, yang telah dikenal mempunyai tradisi musik dan memberikan pengaruh pada perkembangan musik di dunia Islam, khususnya saat pemerintahan Abbasiyah. Ketika al-Ma'mun memerintah, Muslim juga menerjemahkan risalah-risalah musik Yunani.

Penerjemahan itu merupakan bagian dari proyek yang dilakukan oleh lembaga yang bernama Bait al-Hikmah, meliputi naskah Aristoxenos, Aristoteles, Euclid, Ptolemy, dan Nikomachos dari Gerasa. Teori musik mereka diadaptasi dan disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.

Mengutip laman Muslimheritage, pada masa awal musik dianggap sebagai cabang filsafat dan matematika. Dan al-Kindi, pakar matematika dan filsafat, merupakan salah satu pakar musik terbesar di dunia Islam dan figur yang memanfaatkan musik sebagai alat terapi. Ia menulis sebanyak 15 risalah tentang musik.

Jejak al-Kindi diikuti oleh al-Farabi yang sangat mencintai musik dan puisi. Dengan dasar kemampuan itu, ia mengembangkan kemampuan bermusiknya dan menuliskan teori tentang musik. Sementara itu, al-Ghazali dalam bukunya, Ihya Ulum al-Din, menguraikan mengenai musik dalam kehidupan spiritual.

Lebih jauh, pemahaman ini dikembangkan oleh Jalaluddin Rumi dan para sufi setelah masanya. Kontak dengan Barat secara bertahap melahirkan asimiliasi terhadap konsep dan teknik musik mereka. Di Mesir, setelah penjajahan Napoleon, Muhammad Ali, pendiri Dinasti Khadif, mendirikan sekolah militer.

Di sekolah-sekolah itu hadir orang Eropa yang mengajarkan instrumen band militer dengan metode pengajaran Barat. Masuknya budaya Barat terjadi pula di Persia. Di sini, orang Prancis bernama Alfred JB Lemaire (1842-1902) mendirikan institusi musik untuk mengajarkan band militer Barat.

Pengaruh Barat lebih terasa pada abad ke-20. Dunia Islam melakukan Eropanisasi dan modernisasi musik. Ini, misalnya, menjadi usaha sistematis yang dilakukan Mustafa Ataturk, presiden pertama Turki. Ia melarang tarekat sufi, melalui musik klasik Usmaniyah untuk mendorong musik rakyat dan musik dari Barat

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement